Pasokan Listrik Berlebih, Penurunan Kapasitas PLTU Dapat Tekan Polusi
Pelaku industri diminta untukmenurunkan kapasitas produksi setrum dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di wilayah Banten dan Jawa Barat maksimal 60% dari total kinerja optimum. Hal ini diyakini dapat menekan laju sebaran emisi yang memicu polusi udara di wilayah DKI Jakarta.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan langkah tersebut juga harus diiringi dengan peningkatan kinerja pembangkit listrik energi baru dan terbarukan, seperti optimasi pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU).
“Secara teknis bisa dilakukan dengan menurunkan kapasitas PLTU, misal hari ini running 90%, bisa diturunkan ke load minimum 60%. Dengan begitu volume batu bara yang dibakar dapat berkurang,” kata Fabby saat dihubungi Katadata.co.id pada Rabu (30/8).
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sumber pencemaran udara di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) yang berasal dari emisi PLTU batu bara tercatat sebesar 34%, sedangkan dari emisi kendaraan 44%.
Riset Walhi dan Greenpeace menemukan ada 10 PLTU batu bara yang berjarak 100 kilometer (Km) dari Ibu Kota. Di antaranya PLTU Suralaya, PLTU Lontar hingga PLTU Pelabuhan Ratu yang ketiganya dimiliki oleh PLN.
“Pengurangan kapasitas lebih relevan ketimbang pemberhentian sementara PLTU yang dapat mengurangi penerimaan PLN. PLTU tidak bisa dimati-hidupkan secara mendadak,” ujar Fabby.
Hal serupa juga dikatakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan INDEF, Abra Talattov, mengatakan peluang untuk menurunkan daya produksi PLTU saat ini relevan dengan kondisi kelebihan pasokan atau oversupply listrik PLN yang mencapai 6-7 gigawatt (GW).
PLN mencatat tambahan pasokan listrik di Jawa dalam satu tahun ke depan mencapai 6,8 GW. Sedangkan tambahan permintaan hanya berada di kisaran 800 MW. Di Sumatera, selama tiga tahun sampai 2025, penambahan permintaan listrik 1,5 GW. Sedangkan penambahan kapasitas 5 GW. Di kalimantan dan Sulawesi bagian selatan juga mengalami hal serupa.
“Penurunan produksi PLTU batu bara relevan dengan kondisi kelebihan pasokan listrik saat ini, namun harus juga menjaga keandalan pasokan listrik untuk masyarakat dan industri. Karena PLTU batu bara masih menjadi tulang punggung listrik nasional,” ujar Abra lewat sambungan telepon pada rabu (30/8).
Menurut Abra, permasalahan polusi udara saat ini harusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap PLTU agar emisi yang dihasilkan berada dibawah ambang batas pemenuhan baku mutu sesuai dengan Permen LHK No.15/2019.
Direktur Utama PLN Indonesia Power (PLN IP), Edwin Nugraha Putra, menjelaskan pembangkitan listrik di sekitar Ibu Kota telah dilengkapi dengan teknologi ramah lingkungan.
Adopsi teknologi Ada Electrostatic Precipitator (ESP) dan Continuous Emission Monitoring System (CEMS) pada PLTU di sekitar Jakarta telah dilakukan meski masih sering dituding sebagai penyebab polusi udara di Ibu Kota.
Menurut Edwin, teknologi ESP dan CEMS telah terpasang pada tiap-tiap cerobong pembangkit listrik untuk memastikan emisi gas buang, termasuk PM 2.5 mampu ditekan dengan maksimal. Efisiensi penyaringan abu dengan ESP diklaim mampu mencapai 99,99%.
“ESP merupakan teknologi ramah lingkungan pada PLTU yang berfungsi untuk menangkap debu dari emisi gas buang dengan ukuran sangat kecil,” kata Edwin, dikutip dari siaran pers pada Rabu (30/8).
Selain pemasangan ESP, jelasnya, PLN juga melakukan pemasangan Low NOx Burner dan pemilihan batu bara rendah sulfur pada setiap PLTU sehingga emisi yang dikeluarkan oleh PLTU selalu aman dan berada di bawah ambang batas pemenuhan baku mutu sesuai dengan Permen LHK No.15/2019.
Adapun CEMS, paparnya, merupakan teknologi yang digunakan untuk memantau emisi pembangkit secara terus menerus. Dengan demikian, emisi yang keluar dari cerobong dapat dipantau secara real time serta dipastikan tidak melebihi baku mutu udara ambien yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Pemantauan itu berlaku real time, sehingga kualitas udara di sekitar pembangkitan listrik dipastikan aman atau bisa terkendali di bawah baku mutu ambien yang ditetapkan pemerintah,” ujar Edwin.