Komnas HAM Minta Menteri ATR BPN Tak Beri Hak Kelola Lahan di Rempang
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengimbau Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR BPN) untuk tidak menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di Pulau Rempang. Hal ini mengingat status kepemilikan lahan dianggap belum jelas, dan sebagian warga di pulau tersebut masih menolak direlokasi.
Menurut Komnas HAM, penggusuran harus sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
"Artinya, kebijakan penggusuran paksa hanya dilakukan sebagai upaya terakhir setelah mempertimbangkan upaya-upaya lain," ujar Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Putu Evina dalam konferensi pers penanganan kasus Pulau rempang, Jumat (22/9).
Apabila terpaksa melakukan penggusuran paksa, pemerintah atau korporasi wajib melakukan asesmen dampak penggusuran paksa dan kebijakan pemulihan kepada warga terdampak.
Selain itu, pemerintah atau korporasi juga wajib memberi kompensasi dan pemulihan yang layak kepada warga terdampak sesuai prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Proses penggusuran harus sesuai standar hak asasi manusia, yakni musyawarah mufakat, pemberitahuan yang layak, dan relokasi sebelum penggusuran dilakukan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika proses penggusuran dilakukan antara lain: Perlindungan prosedural, tanpa intimidasi dan kekerasan, serta mengerahkan aparat secara proporsional.
Pemerintah harus melakukan dialog dan sosialisasi yang memadai dengan cara pendekatan kultural dan humanis atas rencana pengembangan dan relokasi sebagai dampak pembangunan proyek strategis nasional.
"Terkait dengan penolakan masyarakat Pulau Rempang untuk direlokasi, negara tidak boleh melanggar hak atas tempat tinggal yang layak, baik melalui tindakan maupun kebijakan yang diambil, baik tingkat lokal maupun nasional," katanya.
Menurut dia, kebijakan negara tidak boleh diskriminatif dan menimbulkan pembatasan tanpa dasar hukum yang sah, eksklusif dan tidak proporsional. Negara tidak boleh melakukan relokasi paksa yang merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Sebelumnya, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) bersikukuh tidak bisa memindahkan Pabrik Xinyi International investment ke lokasi lain sebab telah terikat MoU dan perjanjian kerja sama dengan PT MEG.
Hasil temuan Komnas HAM menyebutkan BP Batam akan tetap melaksanakan proses relokasi masyarakat Pulau Rempang, termasuk 16 Kampung Melayu Tua sesuai jadwal. Terutama terhadap tiga Kampung Melayu Tua, yakni Kampung Sembulang Hulu, Kampung Sembulang Tanjung, dan Kampung Batu Merah. Wilayah ini menjadi prioritas pembangunan tahap I Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.
BP Batam juga telah mengultimatum warga di Kampung Melayu Tua untuk segera meninggalkan pemukiman sebelum 28 September mendatang.
“Sudah jelas 28 September harus pergi, alasannya kalau tidak segera hengkang maka investor dari Cina tersebut akan melirik negara lain dan akan memindahkan pabriknya ke negara tetangga,” ucap Elvina.
Putu Elvina menjelaskan, BP Batam telah merencanakan relokasi warga terdampak ke tempat baru sekitar 5 km dari pemukiman yang saat ini ditempati warga. Namun, warga Rempang tak ingin pindah dari kampung halamannya. Tak hanya itu, masyarakat juga tidak pernah menandatangani persetujuan relokasi dan tidak hadir dalam dalam sosialisasi tersebut.
Melansir dari Antara, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan kasus di Rempang itu bukan penggusuran, tetapi pengosongan lahan, karena hak atas tanah itu telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002.