Transisi Energi, Warga Desa Mulawarman Ramu Kotoran Ternak Jadi Gas
Desa Mulawarman di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, mengimplementasikan transisi energi sejak 2021 dengan memanfaatkan biogas kotoran ternak. Hal ini dilakukan guna mendorong pemerintah untuk menuju net zero emission atau nol emisi karbon pada 2060.
Sekretaris Desa Mulawarman, Bambang Irawan mengatakan Desa tersebut tercatat mempunyai lebih dari 40 peternak, baik peternak sapi maupun kambing. Kotoran ternak itu dapat menghasilkan biogas yang bisa dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk memasak.
Bambang menjelaskan untuk dapat menghasilkan gas, kotoran ternak dikumpulkan dengan cara mengalirkan kotoran cair dan padat pada bak penampung digester dan gas yang dihasilkan kemudian akan dialirkan ke kompor warga sekitar.
Meskipun Desa Mulawarman dihimpit oleh kawah-kawah tambang, tapi hingga saat ini sebanyak 12 kartu keluarga (KK) sudah memanfaatkan kotoran-kotoran ternak tersebut menjadi energi terbarukan berupa biogas yang bisa digunakan untuk keperluan rumah.
Bambang mengatakan, biogas yang dihasilkan dari kotoran ternak itu merupakan biogas rumahan yang instalasinya dilakukan oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Timur. Dengan demikian, warga tidak perlu membayar iuran dalam penggunaan biogas.
“Jadi warga sekitar tidak dipungut biaya apapun ya. Untuk pembangunan pipa gas ini keseluruhannya waktu itu memakan biaya hingga Rp 25 juta,” ujarnya kepada Katadata.co.id, saat ditemui di Desa Mulawarman, Kalimantan Timur, Jumat (7/9)
Sementara itu, salah satu warga yang memanfaatkan biogas dari kotoran ternak, Zaenal Abidin mengatakan sangat terbantu dengan adanya pemanfaatan transisi energi ini. Sebab, sebelumnya para warga menggunakan Liquefied Petroleum Gas (LPG) untuk memasak kebutuhan sehari-hari dan biasanya mengeluarkan biaya sebesar Rp 120.000 untuk membeli gas LPG sebanyak tiga kali dalam satu bulan.
“Adanya program ini sangat membantu sekali, karena kalau pakai gas ini kita modalnya hanya air dan tenaga saja. Kalau pake gas LPG kan sebulan minimal mengeluarkan uang sampai Rp 120.000,” kata dia.
Dia mengatakan, gas yang dihasilkan dari kotoran ternak tersebut juga tidak menimbulkan bau yang tidak sedap. Bau akan muncul sebentar saat penggunaan pertama. Namun, jika sudah digunakan beberapa kali, gas itu tidak menimbulkan bau apapun. Namun, panas yang dihasilkan tidak sepanas api yang berasal dari gas tabung seperti LPG.
“Jadi kalau masak pakai gas kotoran ini memang matangnya lebih lama, tapi nggak apa-apa, yang penting hemat bantu perekonomian kita,” ujarnya.
Zaenudin mengatakan, satu pipa gas hanya bisa digunakan untuk keperluan satu rumah karena gas yang dihasilkan tidak terlalu banyak. Bahkan, gas tersebut tidak bisa digunakan untuk kebutuhan memasak dalam jumlah yang besar, “Kalau untuk masa sehari-hari bisa, tapi kalau untuk acara besar kaya hajatan itu harus beli gas LPG lagi,” ujarnya.
Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Service Reform (IESR), Marlistya Citraningrum mengatakan pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas merupakan praktik pemanfaatan energi terbarukan yang dapat dilakukan oleh masyarakat baik secara individu maupun komunal.
"Biogas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai pengganti elpiji atau sebagai sumber listrik, slurry yang dihasilkan sebagai pupuk dan bisa bernilai jual," kata dia.
Marlistya menuturkan, pemanfaatan energi terbarukan berbasis masyarakat dapat dilakukan tidak hanya melalui program pemerintah, melainkan juga secara kolektif atau swadaya. Hal tersebut bisa terus diupayakan oleh Badan Usaha Milik Desa atau koperasi, hingga melalui pembiayaan komersial.
“Dan pemanfaatan biogas di Desa Mulawarman ini bisa direplikasi di berbagai wilayah terutama yang menjadi sentra peternakan dan model pengelolaan atau pembiayaannya bisa bervariasi,” ujarnya.