Jual Alat Deteksi Covid-19 RT-PCR, Bio Farma Kantongi Rp 283 Miliar
Pandemi Covid-19 membawa berkah tersembunyi bagi perusahaan farmasi pelat merah. Terbukti, PT Bio Farma (Persero) mencatatkan penjualan alat deteksi Covid-19, Rapid Test polymerase chain reaction (RT-PCR), sebesar Rp 283 miliar sepanjang semester I 2021.
Berdasarkan keterangan perusahaan, pendapatan sektor swasta tercatat mencapai Rp 431 miliar atau 105% dari target yang dianggarkan sebesar Rp 411 miliar.
"Sebanyak 68,865 dari total penjualan dalam negeri sektor swasta diperoleh dari penjualan RT-PCR dengan nama M-BioCov," ujar Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir dalam keterangan tertulis, Senin (27/9).
Induk Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Farmasi itu menciptakan inovasi produk kit diagnostik untuk mendeteksi virus Covid-19 berupa RT-PCR yang diluncurkan pada semester I 2020.
Inovasi dilakukan melalui hasil kolaborasi bersama perusahaan rintisan (start up) yang sudah memenuhi standar emas (gold standard) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Alat ini diciptakan guna menangani pandemi Covid-19.
Selain merilis RT-PCR Kit, Bio Farma juga meluncurkan inovasi terbaru yaitu, Bio Saliva. Produk ini merupakan alat uji untuk mendeteksi Covid-19 dengan metode kumur.
Bio Saliva merupakan pelengkap dari produk M-BioCov. PCR kumur ini memiliki sensitifitas 95%, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif selain gold standar SWAB Nasofaring-Orofaring menggunakan PCR Kit.
Holding BUMN Farmasi dibentuk pada 31 Januari 2020, atau sekitar dua bulan sebelum pandemi Covid-19. Selain Bio Farma sebagai induk, holding juga beranggotakan PT Kimia Farma (Persero) Tbk dan PT Indofarma (Persero) Tbk.
Penggabungan tiga perusahaan pelat merah ini menjadikannya perusahaan farmasi terbesar di Indonesia, dengan 13 pabrik, 78 jaringan distribusi, dan 1.300 jaringan apotek serta 560 laboratorium klinik di Indonesia.
Tata Ulang Produk Kimia Farma dan Indofarma
Dalam perjalanannya, Honesti mengatakan Holding BUMN Farmasi terus bertransformasi sebagai pilar ketahanan kesehatan nasional di tengah sejumlah tantangan yang dihadapi.
Beberapa upaya yang dilakukan perusahaan adalah menata portofolio produk, meningkatkan utilisasi pabrik, dan melakukan integrasi proses bisnis perusahaan.
Menurut Honesti, penataan ulang portofolio produk menjadi prioritas perusahaan, mengingat produk Kimia Farma dan Indofarma ada yang saling beririsan. Dengan demikian, keduanya akan memiliki diversitas dan fokus jenis produk berbeda.
Penataan tersebut dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan obat, serta dapat menurunkan harga produk yang saling bersaing.
"Kami telah menetapkan jenis produk yang akan dihasilkan oleh masing-masing entitas. Kimia Farma akan menghasilkan produk kimia, sedangkan Indofarma akan menghasilkan produk herbal dan alat kesehatan," ujarnya.
Hal lain yang menjadi prioritas pembentukan Holding BUMN Farmasi adalah harmonisasi seluruh jaringan perusahaan untuk mencapai efisiensi biaya, salah satunya melalui sentralisasi distribusi layanan penjualan.
Selain itu, perusahaan juga membantu pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19. Sejumlah upaya yang dilakukan adalah menyediakan masker medis dan non-medis dengan harga jauh di bawah harga pasar, serta memastikan ketersediaan obat terapi Covid-19 seperti, azithromycin, oseltamivir, chloroquine, dan remdesivir.
Tak hanya itu, perusahaan juga menyediakan vaksin Covid-19 dari berbagai macam platform yang diperoleh melalui hubungan bilateral dan multilateral. Terhitung per 24 September 2021, Bio Farma telah mendistribusikan lebih dari 175 juta dosis.