Bank Mandiri Minta Titan Energy Bayar Utang Kredit Macet US$450 Juta
Para kreditur sindikasi yang terdiri dari, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, Credit Suisse, dan Trafigura, menghadapi kasus kredit macet perusahaan batu bara, PT Titan Infra Energy senilai US$ 450 juta.
Entitas usaha Titan Group ini diketahui memperoleh kredit sindikasi US$ 450 juta pada 2018. Namun, sejak Februari 2020, perusahaan tak menjalankan kewajibannya mencicil utang sindikasi tersebut. Sampai akhirnya, kreditur mengajukan gugatan hukum.
Dalam perkembangannya, para kreditur mengaku belum menerima proposal restrukturisasi kredit yang dijanjikan Direktur Utama PT Titan Infra Energy Darwan Siregar, hingga tenggat waktu yang disepakati pada 30 Juni 2022 kemarin.
VP Corporate Communication Bank Mandiri Ricky Andriano mempertanyakan itikad baik Titan Energy untuk menunaikan kewajibannya. Pasalnya, sejak berhenti mencicil pada Februari 2020, dan mendapat label kredit macet dari para kreditur pada Agustus 2020, hingga kini Titan tak melaksanakan kewajiban sesuai kesepakatan awal.
Ricky menjelaskan, selama tiga tahun terakhir, kreditur sindikasi juga tidak pernah menerima laporan keuangan yang sudah diaudit dari perusahaan batubara ini. Padahal, menurut Ricky, operasional bisnis perusahaan tambang batu bara tersebut diduga berlangsung normal, meski badai pandemi Covid-19 menerpa negeri ini.
“Solusi kredit macet ini sebenarnya simpel. Kalau memang Titan beritikad baik, segera lunasi kreditnya ataupun bayar tunggakannya kepada seluruh kreditur sindikasi tanpa berdalih apapun,” ujar Ricky di Jakarta, Jumat (1/7).
Berdasarkan data yang diterima kreditur sindikasi, penjualan batu bara yang dilakukan Titan mencapai US$ 226 juta lebih pada 2020 dan meningkat tajam pada 2021 mencapai US$ 281 juta. Hal itu salah satunya dipicu oleh tren harga batu bara dunia yang terus merangkak naik, dari US$ 40 per ton pada saat kredit disalurkan pada 2018, melonjak hingga sempat menyentuh US$ 400 per ton pada Juni 2022.
Menurut Ricky, dengan harga batu bara dan penjualan yang terus meningkat, kreditur sindikasi menilai Titan mampu menyelesaikan kewajibannya dan tak layak mengajukan restrukturisasi dengan alasan terdampak pandemi Covid-19.
Para peserta kredit sindikasi merupakan bank-bank yang memiliki reputasi tinggi di negara masing-masing. Artinya, lanjut dia, seluruh keputusan yang telah disepakati keempat institusi keuangan tersebut sudah melalui proses penilaian yang menyeluruh.
Namun, sebagai lembaga intermediasi sumber utama pendanaan bank berasal dari simpanan nasabah. Itulah sebabnya bank akan berupaya keras kepada debitur untuk memenuhi kewajibannya jika debitur memiliki kemampuan membayar.
Sebaliknya, bila ada faktor kejadian yang tak disengaja atau force majeur, tentunya bank akan melakukan restrukturisasi berupa penjadwalan ulang pembayaran, diskon, dan opsi keringanan lainnya. Hal ini termasuk ikut membantu mencarikan investor baru untuk meringankan beban debitur.
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Utama PT Titan Infra Energy Darwan Siregar mengatakan, perusahaan mengajukan restrukturisasi utang karena kinerja bisnis yang memburuk saat pandemi Covid-19. Hal ini sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait relaksasi stimulus perekonomian Indonesia saat pandemi Covid-19.
"Hal itu boleh diterapkan ke seluruh pelaku bisnis, termasuk UMKM (usaha menengah, kecil, dan mikro). Kenapa kita ga dikasih?," ujar Darwan kepada Katadata.co.id.
Dia mengaku telah mengajukan restrukturisasi sebanyak lima kali, namun tak memperoleh persetujuan dari para kreditur.
Sebelumnya, Manajemen Titan juga mengaku tak memperoleh persetujuan untuk menjual aset non-utama untuk membayar utang. Menurut kreditur, perusahaan batu bara tak seharusnya menjual aset tambangnya.