Refleksi dari Negara Lain,
Ikhtiar Indonesia Atasi Kemelut Polusi Udara
Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, sedang memerangi polusi udara yang dampaknya semakin membahayakan masyarakatnya. Sejumlah kota di belahan dunia dapat menjadi contoh pembelajaran sebagai strategi mengatasi polusi udara.
Penulis : Arofatin Maulina Ulfa, Hanna Farah Vania, Carolus Bregas Pranoto
Penulis : Arofatin Maulina Ulfa, Hanna Farah Vania, Carolus Bregas Pranoto
Nadia (35), seorang pegawai swasta, mengeluhkan kedua buah hatinya mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang tak kunjung sembuh. Penyakit gangguan pernapasan tersebut sudah menyerang kedua balita ini hingga satu bulan lebih.
“Sekarang kalau sakit batuk tidak cepat sembuh. Sembuhnya lama, bisa sebulan lebih,” kata Nadia kepada tim Katadata Green, Jumat (5/7/202).
Ada juga Putri (32), warga Depok dan ibu dua anak, yang mengeluhkan asma sang putra dan putri sering kambuh di tengah semakin pekatnya polusi udara.
“Sering kambuh (asma) karena debu dan polusi udara yang semakin tinggi,” ujarnya kepada tim Katadata Green.
Polusi udara memberikan dampak kesehatan yang buruk, terutama bagi masyarakat kota besar seperti Nadia dan Putri. Dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh polusi udara, di antaranya adalah ISPA, asma, bronkopneumonia, paru-paru basah, hingga serangan jantung.
Setiap hari, masyarakat terpaksa menghirup polusi udara yang diakibatkan oleh tingginya mobilitas dan membludaknya kendaraan bermotor. Data Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) menunjukkan, emisi kendaraan bermotor menyumbang hingga 47% dari total polusi udara di Jakarta.
Sebagai upaya pengurangan polusi udara, pada September 2022, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta memperkenalkan Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU) untuk meningkatkan kualitas udara Ibu Kota. Pemprov Jakarta juga telah mendeklarasikan dua kawasan rendah emisi atau Low Emission Zone (LEZ), yaitu di kawasan Kota Tua Jakarta dan Tebet Eco Park.
Pada Agustus 2023, ketika dihadapkan dengan krisis polusi udara di Jakarta, Presiden Joko Widodo mengadakan Rapat Kabinet Terbatas yang membahas solusi jangka pendek dan jangka panjang dalam mengatasi polusi udara. Salah satu solusi yang dibahas adalah dengan menekan polusi udara dari sektor transportasi.
Berdasarkan data IQAir, per 11 Oktober 2024, Jakarta menempati posisi ke-17 sebagai kota paling berpolusi di dunia. Pada hari yang sama, Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada pukul 08.00 WIB mengungkapkan bahwa indeks kualitas udara di Jawa Barat adalah yang terburuk di Indonesia, yaitu sebesar 127.
Sejumlah kota di dunia, termasuk Jakarta, juga sedang berjibaku memperbaiki kualitas udaranya. Beberapa di antaranya adalah Beijing di Cina dan Delhi di India, yang masing-masing menempati posisi ke-10 dan ke-12 sebagai kota paling berpolusi di dunia, berdasarkan data IQAir pada 11 Oktober 2024.
Kedua kota ini memiliki kesamaan dengan Jakarta, yaitu memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan lalu lintas yang padat. Namun, Beijing dan Delhi memiliki formulasi yang mampu menekan polusi udara secara signifikan.
Selain Beijing dan Delhi, Indonesia juga bisa belajar dari London dalam menangani polusi udara. Kota ini berhasil mengimplementasikan LEZ, salah satu strategi yang juga dilakukan Indonesia dalam menekan polusi udara.
Empat Strategi Holistik Cina Atasi Polusi Udara
Ibu kota Cina, Beijing, adalah salah satu kota yang mengalami persoalan polusi udara cukup parah.
Hal ini diungkap oleh Assessment and Modeling Project Manager di Beijing Transport Energy and Environment Center He Weinan kepada Katadata Green.
Menurut He, kendaraan berbahan bakar fosil saat ini masih menjadi sumber polusi utama di Cina.
“Di Beijing, lalu lintas (kendaraan) merupakan tantangan terbesar. Kami telah melakukan tiga analisis PM2.5. Analisis pertama menunjukkan kandungan PM2.5 bisa mencapai 31,1%, hingga pada ketiga kalinya bahkan mencapai 43,3%,” katanya di Jakarta, Senin (2/9/2024).
Namun demikian, menurut He, sejauh ini total emisi di Cina secara keseluruhan menurun. Ini berbanding terbalik dengan emisi di perkotaan yang justru masih mengalami kenaikan akibat kepadatan lalu lintas yang meningkat.
Menurutnya, dalam kurun waktu 2013-2023, Beijing berhasil menekan pencemaran PM2.5 dari 100 parts per million (ppm) menjadi 32 ppm.
“Target (penurunan polusi) dalam 10 tahun terakhir hanya berfokus pada total emisi yang dihasilkan oleh kendaraan listrik dan mobil berbahan bakar minyak (BBM). Sekarang, kami fokus pada kepadatan emisi dan cara mengurangi penggunaan BBM dan energi terbarukan,” imbuh He.
Hal ini diperkuat dengan kajian Local Governments for Sustainability, lembaga jaringan pemerintah daerah tingkat global yang berfokus pada perkotaan berkelanjutan, yang menemukan bahwa Beijing selama ini telah menerapkan serangkaian program pengendalian polusi udara untuk memerangi krisis polusi.
Beijing juga memiliki roadmap pengurangan polusi melalui Rencana Lima Tahun yang dicanangkan pada September 2013. Rencana tersebut menetapkan target spesifik, yaitu memperketat standar emisi dari standar nasional dan mendukung penegakan hukum.
Pada akhir 2017, konsentrasi rata-rata PM2.5 tahunan di Beijing turun menjadi 58 mikrogram per meter kubik (µg/m3), atau berkurang 35% jika dibandingkan dengan keadaan pada 2013. Sementara itu, konsentrasi sulfur dioksida (SO) juga turun lebih dari 93% dari tingkat tahun 1998 dan nitrogen dioksida turun hampir 38%.
Di Beijing, saat ini terdapat lebih dari 1.000 sensor pemantauan PM2.5 yang tersebar di seluruh kota. Sensor ini berperan penting dalam mengidentifikasi wilayah dan periode dengan emisi tinggi secara akurat.
Selain itu, Beijing juga fokus pada pengurangan konsumsi batu bara. Cina selama ini dikenal sebagai produsen dan konsumen batu bara terbesar di dunia, namun juga merupakan investor dan produsen energi ramah lingkungan terbesar di dunia.
Secara perlahan, Cina berhasil mengurangi ketergantungannya pada batubara untuk pembangkit listrik. Menurut data Ember, think tank sektor energi dari Inggris Raya, jumlahnya bahkan turun dari 81% pada 2007 menjadi 60,7% pada 2023. Pembangkit listrik tenaga angin dan surya di negara ini juga menghasilkan 15,5% listrik pada 2023.
Menurut He, keberhasilan ini tidak terlepas dari kolaborasi para pemangku kepentingan di Beijing dalam mengatasi polusi udara melalui serangkaian upaya.
“Pemangku kepentingan di setiap departemen melihat mana yang menjadi tanggung jawab satu sama lain. Dalam sepuluh tahun terakhir, stakeholder terkait telah mencoba membuat struktur yang lebih baik,” imbuhnya.
Dia mengungkapkan, Beijing perlu empat fase perjalanan dalam upaya mengentaskan masalah polusi udara. Pertama, menganalisa tata ruang kota untuk mengatur alur transportasi, terutama fasilitas Transit Oriented Development (TOD). Kedua, merubah perilaku mobilitas masyarakat yang mengedepankan penggunaan moda transportasi umum.
“Penting untuk mempromosikan lalu lintas yang intensif dan lebih hijau, seperti penggunaan kereta listrik dan kendaraan (dengan) energi baru,” imbuhnya.
Ketiga, menggunakan bahan bakar rendah sulfur yang bisa menekan emisi dari kendaraan bermotor di perkotaan. Terakhir, mendorong adopsi kendaraan rendah emisi seperti kendaraan listrik (EV).
Strategi Penghargaan dan Hukuman Tekan Emisi Transportasi di Delhi
India memiliki tingkat polusi udara yang mengkhawatirkan selama dua dekade terakhir. Salah satu kota di India yang mendapat sorotan akibat tingginya tingkat polusi udara adalah Delhi.
Polusi udara menjadi persoalan yang pelik di Delhi. Masalah yang dihadapi sangat rumit, mulai dari pertumbuhan penduduk yang pesat, peningkatan jumlah kendaraan, penggunaan bahan bakar kotor, sistem transportasi yang tidak efisien, pola penggunaan lahan yang buruk, industrialisasi, hingga peraturan lingkungan yang tidak efektif.
Executive Director of Research and Advocacy dari Center for Science and Environment, sebuah lembaga riset dan advokasi nonprofit di Delhi, Anumita Roychowdhury, mengisahkan bagaimana Delhi berupaya lepas dari cengkraman polusi udara melalui sejumlah langkah terintegrasi.
Setelah melakukan identifikasi ilmiah, pemerintah Delhi menemukan bahwa sumber utama polusi di kota itu adalah aktivitas industri, kendaraan, PLTU, pembakaran sampah dan konstruksi.
“Aksi pertama yang dilakukan oleh pemerintah lokal adalah mengatasi sumber utama polusi, yakni pengaturan kendaraan usia tua dan kendaraan berbahan bakar solar,” kata Anumita kepada Katadata Green, Senin (2/9/2024) di Jakarta.
Menurut Anumita, kontribusi kendaraan berbahan bakar solar pada polusi udara di Delhi cukup besar. Salah satu cara untuk menguranginya adalah membatasi usia kendaraan solar tidak lebih dari 10 tahun.
Ia menambahkan, otoritas lokal telah memberlakukan pollution tax atau pajak polusi sebagai upaya mendorong kompensasi lingkungan yang ditimbulkan akibat adanya polusi udara di kota Delhi.
“Otoritas Delhi juga memberlakukan pajak lingkungan untuk kendaraan solar. Truk yang melintasi Delhi harus membayar kompensasi atau pajak sebagai upaya disinsentif bagi pengguna jenis kendaraan ini. Keuntungan dari pajak akan digunakan untuk dedicated fund yang mendukung kegiatan penurunan emisi,”imbuh Anumita.
Menurut Anumita, langkah mengontrol penggunaan kendaraan solar ini cukup efektif dan membuahkan hasil. Salah satu dampaknya adalah pengurangan jumlah kendaraan dan bahan bakar solar yang beredar.
Selain itu, Delhi juga mengontrol polusi udara dari industri dan melarang mereka menggunakan batu bara. Lebih lanjut, Anumita juga menyebutkan bahwa pemerintah India telah meluncurkan National Clean Air Program (NCAP) yang diinisiasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Perubahan Iklim untuk meningkatkan kualitas udara di tingkat kota, regional dan nasional.
Target sementara program ini adalah pengurangan konsentrasi PM10 dan PM2.5 sebesar 20%-30% pada 2024-2026 di tingkat nasional.
Delhi juga mengadopsi kebijakan kendaraan listrik pada 2024, di mana setiap pembelian kendaraan listrik mendapatkan subsidi dari pemerintah dengan insentif yang cukup besar dan lebih kompetitif dibandingkan kendaraan konvensional.
Pemerintah India juga memberikan subsidi kepada pengguna transportasi publik. Upaya ini bertujuan untuk mendukung elektrifikasi di India yang dimanfaatkan untuk transportasi publik.
Kolaborasi Berbagai Pihak Atasi Polusi Udara London
Pemerintah Kota London berupaya meningkatkan kualitas udara dengan sejumlah gebrakan kebijakan. Salah satu inisiatif datang dari pusat kajian lingkungan Environmental Research Group (ERG) di Imperial College London untuk mendukung instalasi sensor kualitas udara sejak awal Agustus 2022 secara gratis.
Inisiatif ini merupakan kolaborasi antara Wali Kota London bersama Bloomberg Philanthropies yang menginisiasi Breathe London Community Program. Melalui program ini, lebih dari 200 sensor kualitas udara telah dipasang untuk memantau tingkat polusi, termasuk kandungan PM2.5 dan NO2 yang berbahaya bagi kesehatan.
“Polusi udara merupakan risiko lingkungan terbesar bagi kesehatan di Inggris dan secara global, dengan 7 juta kematian dini tiap tahunnya yang disebabkan oleh paparan kualitas udara yang buruk, berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sangat menyenangkan melihat komunitas seperti ini maju dan membuat perbedaan,” kata Head of Air Quality Measurement di ERG Dr Mohammed Iq Mead, Senin (1/8/22).
Tak hanya itu, London juga meluncurkan beragam strategi untuk mengatasi polusi udara, seperti London Local Air Quality Framework hingga elektrifikasi bus, taksi dan kendaraan lainnya. London Local Air Quality Framework mendukung Mayor’s London Local Air Quality Management (LLAQM) yang merupakan proses hukum bagi pemerintah daerah dalam meninjau dan meningkatkan kualitas udara di wilayah mereka.
Untuk program elektrifikasi, Pemerintah London mendorong armada taksi dan kendaraan sewa pribadi untuk mematuhi persyaratan perizinan, yaitu menggunakan bahan bakar berbasis energi baru. Sebanyak 54% taksi di London dan 36% dari semua kendaraan sewa pribadi kini telah berbasis kendaraan listrik.
Pemerintah London juga mendukung terwujudnya revolusi kendaraan listrik. Lebih dari 18.600 stasiun pengisian daya kendaraan listrik terpasang di Inggris. Hal ini memungkinkan warga London untuk mengadopsi pemakaian kendaraan listrik lebih cepat daripada kota lainnya di Inggris.
Tak hanya sensor kualitas udara, Wali Kota London juga telah menetapkan Zona Emisi Ultra Rendah (Ultra Low Emission Zone/ULEZ). Pada 2019, skema ULEZ diterapkan di pusat kota London 24 jam sehari, 7 hari seminggu. ULEZ kemudian diperluas ke seluruh London pada tahun 2023. Lebih dari 95% kendaraan yang terlihat berkendara di London kini mematuhi standar emisi ULEZ, naik dari hanya 39% pada 2017.
Pembelajaran dari Negara Lain
Indonesia dapat merefleksikan sejumlah strategi yang dilakukan Beijing, Delhi, dan London dalam mengatasi polusi udara. Menurut He Weinan, Indonesia dapat belajar dari Beijing terkait komitmen dan political will pemerintah dalam menangani polusi udara.
He mengatakan, pertama, Pemerintah Cina berkolaborasi dan memberikan tanggung jawab kepada berbagai departemen untuk mengurangi polusi udara. Kedua, Cina menetapkan target yang terperinci dan jumlah yang pasti terkait penurunan emisi.
“Jika kita ingin melakukan sesuatu, kita harus menentukan apa yang ingin kita capai. Misalnya, menargetkan penurunan total emisi hingga 20%,” kata He.
Ketiga, ada ekosistem yang harus dibangun, terlepas dari perbedaan kondisi di masing-masing negara. Dalam hal ini, perlu dilakukan uji coba dalam skala kecil terlebih dulu. Jika berhasil, dapat diperluas ke skala yang lebih besar.
Sebagai contoh, Beijing juga menerapkan inisiatif Zona Emisi Rendah (Low Emission Zone/LEZ) untuk mengurangi polusi dan meningkatkan kualitas udara dalam batas-batas geografis yang ditentukan.
Contoh lainnya adalah menerapkan target dalam penggunaan bahan bakar berkualitas EURO 3 melalui beberapa tahap, hingga membatasi operasional truk nonlokal.
“Pemerintah (Cina) akan fokus pada cara mendapatkan hasil. Tak hanya itu, di Cina, semua orang akan berpikir tentang (bagaimana) cara (untuk) mencapai tujuan,” imbuh He.
Terakhir, menurut He, pemerintah Cina kini juga tidak lagi memberikan insentif untuk mengadopsi EV.
“Sekarang orang berpikir bahwa EV lebih murah, dan lebih berteknologi tinggi. Jarak tempuh dengan EV (bisa mencapai) lebih dari 3 ribu km. Lima tahun yang lalu, (banyak) orang khawatir dengan EV. Sekarang tidak lagi,” pungkasnya.
Selain Cina, Pemerintah Indonesia dapat belajar dari India. Anumita menyatakan bahwa Indonesia juga perlu mendorong langkah-langkah untuk mengurangi polusi udara.
“Saya rasa, India dan Indonesia perlu sama-sama belajar dengan mengedepankan tiga aspek, yaitu transisi energi, transisi mobilitas dengan menggunakan transportasi publik, dan sirkularitas yang menjadi pondasi penting,” imbuhnya.
Ia menambahkan, faktor pendorong, seperti subsidi dan pajak, untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi juga memiliki peran penting. Faktor ekonomi tersebut bisa mendorong berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi dan meningkatkan penggunaan transportasi massal yang lebih ramah lingkungan.
Koordinator | Hanna Farah Vania |
Editor | Padjar Iswara, Jeany Hartriani, Hanna Farah Vania |
Konten | Ardhia Annisa Putri, Carolus Bregas Pranoto, Fitria Nurhayati, Sahistya Dhanesworo |
Infografik | Andrey Rahman Tamatalo, Very Anggar Kusuma, Zulfiq Ardi Nugroho |
Sosial Media | Maria Margaretha Del Viera, Diwanna Ericha |
Multimedia | Ezra Damaraputra, Heri Purwoko, Wahyu Dwi Jayanto |
Data & TI | Firman Firdaus, Daffa Ridho Alfarisi, Farizan Kazhimi |