Doa Saat Terjadi Gempa Bumi dan Sudut Pandang Teologi Islam
Setiap muslim hendaknya memanjatkan doa pada setiap keadaan, termasuk doa saat terjadi gempa bumi. Sebab, gempa bumi adalah kehendak Allah SWT.
Indonesia adalah wilayah rawan gempa karena beberapa faktor ilmiah. Keberadaannya di Cincin Api Pasifik dan Sabuk Alpide menyebabkan potensi gempa bumi.
Selain itu, letak Indonesia yakni di persimpangan tiga lempeng benua, yaitu Pasifik, Indo-Australia, dan Eurasia, semakin meningkatkan risiko gempa. Fakta ilmiah ini menunjukkan bahwa gempa di Indonesia adalah hal yang biasa dan tidak terkait dengan tindakan manusia.
Namun, sudut pandang teologis mengubah pandangan ini. Peristiwa manusia dianggap sebagai bagian dari kehendak Allah yang telah ditetapkan sebelumnya. Allah berfirman:
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍۢ فِي ٱلْأَرْضِ وَلَا فِيْ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَٰبٍۢ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌۭ
Artinya: "Tiada bencana yang menimpa di bumi atau pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah." (QS. Al-Hadid: 22)
Berkenaan dengan hal tersebut, setiap muslim perlu memanjatkan doa saat terjadi gempa bumi. Doa yang dapat dipanjatkan yakni sebagai berikut.
Doa Saat Terjadi Gempa Bumi
اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيْهَا وَخَيْرَ مَا أَرْسَلْتَ بِهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أَرْسَلْتَ بِهِ
Artinya: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan gempa ini dan segala kebaikan yang ada di dalamnya, serta kebaikan dari apa yang telah Engkau perintahkan dengannya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan gempa ini dan segala kejahatan yang ada di dalamnya, serta kejahatan dari apa yang telah Engkau perintahkan dengannya.”
Memahami Gempa Bumi dari Segi Teologis
Setelah mengetahui doa saat terjadi gempa bumi, umat muslim perlu memahami bencana alam dari segi teologis. Hal ini diperlukan agar setiap muslim mampu melihat bencana sebagai kehendak Allah SWT tanpa berprasangka buruk terhadapnya.
Bencana alam kerap dikaitkan dengan perilaku manusia yang berdosa. Dari perspektif teologis, jawabannya mungkin demikian karena banyak ayat Al-Qur'an atau hadits yang menyatakan bahwa bencana yang menimpa manusia bisa disebabkan oleh perbuatan buruk manusia itu sendiri.
Allah menegur hamba-Nya dengan berbagai cara, salah satunya melalui gempa bumi ini. Sebagai contoh, lihatlah kisah kaum Nabi Luth yang melakukan perlawanan hingga akhirnya mendapat hukuman bencana alam yang dahsyat, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat berikut:
فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَٰلِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةًۭ مِّن سِجِّيلٍۢ مَّنضُودٍۢ
Artinya: “Ketika datang ketetapan Kami, Kami membuat yang paling atas menjadi yang paling bawah, dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah liat yang telah ditandai.” (QS. Hud: 82)
Allah juga berpesan agar manusia merenungkan nasib buruk kaum-kaum terdahulu yang telah berakhir tragis karena mereka tidak mengikuti perintah Allah SWT. Sebagai contoh:
قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِكُمْ سُنَنٌۭ فَسِيرُوا۟ فِي ٱلْأَرْضِ فَٱنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلْمُكَذِّبِينَ
Artinya: "Telah berlalu sebelum kalian sunnah-sunnah (kebiasaan) umat-umat yang telah berlalu, maka jelajahilah bumi dan perhatikanlah bagaimana akhir para penentang (orang-orang kafir).” (QS. Ali Imran: 137)
Selain itu, ada juga peringatan yang tersembunyi di balik nikmat-nikmat duniawi, seperti kekayaan, kesuksesan, dan umur panjang yang seringkali menyertai meningkatnya dosa-dosa manusia. Semua ini merupakan bentuk peringatan yang paling berat yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang telah terlanjur tenggelam dalam dosa dan lupa akan-Nya.
Dalam terminologi Islam, jenis peringatan semacam ini disebut sebagai istidraj, dan fenomena ini banyak disebutkan dalam Al-Qur'an dan hadis-hadis yang menjelaskan kesuksesan duniawi orang-orang kafir dan orang-orang zalim, sementara hukuman bagi mereka ditangguhkan hingga mereka meninggal dunia.
Oleh sebab itu, kita tidak boleh dengan serta-merta menafsirkan bahwa korban gempa bumi adalah orang-orang yang sedang mendapat azab dari Allah. Tafsiran semacam ini tidak dibenarkan karena hanya Allah yang mengetahui maksud di balik setiap peristiwa.
Pada masa lalu, kita dapat mengetahui bahwa suatu bencana adalah peringatan Allah terhadap suatu kaum karena ada seorang nabi yang menjelaskannya. Namun, di zaman ketiadaan nabi seperti sekarang, manusia hanya bisa berspekulasi (berprasangka) dan Al-Qur'an sudah mengingatkan bahwa kebanyakan spekulasi itu adalah dosa.
Sebaliknya, dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa orang yang tertimbun oleh reruntuhan atau tenggelam dalam bencana air adalah orang yang mendapat pahala seperti syahid. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنُ وَالْمَبْطُوْنُ وَالْغَرِقُ وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
Artinya: “Para syahid itu ada lima, yang mati tertusuk (oleh senjata), yang mati karena penyakit perut (wabah), yang tenggelam (dalam air), yang mati karena tertimpa reruntuhan, dan syahid di jalan Allah.” (HR. Bukhari-Muslim)
Demikian lafal doa saat terjadi gempa bumi dan sudut pandang musibah dari segi teologis. Selanjutnya dapat diketahui, manusia hendaknya tidak berburuk sangka atas suatu musibah yang diterima orang lain. Setiap muslim juga hendaknya melihat musibah yang terjadi kepada diri sendiri sebagai momen renungan dan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.