Memahami Pengertian Itikaf hingga Hal yang Membatalkannya
Melakukan Itikaf adalah sunnah yang sangat dianjurkan, dapat dilakukan kapan saja, tetapi lebih disarankan pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Sebab, pada 10 hari bulan Ramadhan itu salah satunya adalah malam lailatul qadar.
Setiap umat muslim ingin memperoleh keberkahan dan indahnya malam lailatul qadar. Namun Allah SWT tidak menjelaskan kapan tepatnya malam itu terjadi.
Berkaitan dengan hal tersebut, menarik mengetahui serba-serbi tentang itikaf yang merupakan ibadah mulia dalam agama Islam. Simak penjelasannya sebagai berikut.
Pengertian Itikaf
Itikaf adalah kata dengan asal katanya dari ‘akafa–ya’kifu–ukufan'. Ketika dihubungkan dengan "an al-amr", menjadi "akafahu an al-amr" yang berarti mencegah. Sedangkan jika dihubungkan dengan kata "'ala", menjadi "akafa ‘ala al-amr" yang artinya menetapi.
Dalam perkembangannya, menjadi i’takafa-ya’takifu-itikafan, yang mengindikasikan arti tetap tinggal pada suatu tempat. Dengan demikian, kalimat I’takafa fi al-masjid memiliki makna “tetap tinggal atau diam di masjid”.
Dalam terminologi atau penggunaan istilah, Itikaf adalah ketetapan untuk tetap berada di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah, zikir, membaca Al-Qur’an, bertasbih, dan kegiatan-kegiatan baik lainnya, serta menjauhi perbuatan yang tercela.
Waktu Beriktikaf
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا فَضَرَبَتْ خِبَاءً فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى الْأَخْبِيَةَ فَقَالَ مَا هَذَا فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَالْبِرَّ تُرَوْنَ بِهِنَّ فَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ
Artinya, Aisyah r.a. menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW biasanya melakukan Itikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Dia memasang tirai untuk beliau, dan setelah shalat Subuh, beliau masuk ke dalam tirai tersebut. Ketika istri lainnya, Hafsah, meminta izin untuk juga memasang tirai, Aisyah mengizinkannya, dan kemudian Zainab binti Jahsyi juga memasang tirai setelah melihatnya. Ketika Nabi SAW menyadari banyaknya tirai yang dipasang, beliau bertanya apakah hal itu dianggap sebagai suatu kebaikan. Karena itu, beliau meninggalkan Itikaf pada bulan Ramadhan tersebut dan menggantikannya dengan Itikaf pada sepuluh hari dari bulan Syawal. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1892 dan Muslim: 2007).
Rukun dan Syarat Itikaf
Rukun itikaf terdiri dari dua. Pertama, memiliki niat itikaf, baik sebagai itikaf sunnah atau itikaf nadzar. Artinya, jika seseorang membuat nadzar untuk melakukan itikaf, maka ia harus memenuhi nadzar tersebut dengan niat itikaf.
Kedua, berdiam di masjid, sesaat atau untuk jangka waktu yang lebih lama, sesuai dengan keinginan orang yang melakukan itikaf. Itikaf bisa dilakukan di masjid baik pada malam hari maupun siang hari.
Adapun, syarat itikaf terdiri dari tiga, yakni menjadi seorang Muslim, dan memiliki akal yang sehat, sebab seseorang yang tidak berakal tidak dianggap sah beritikaf. Lalu, menjaga kesucian dari hadats besar, seperti junub atau haid.
Lafal Niat Itikaf
1. Niat untuk itikaf mutlak:
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ للهِ تَعَالَى
“Saya itikaf di masjid ini karena Allah.”
2. Niat untuk itikaf Waktu Tertentu
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَوْمًا/لَيْلًا كَامِلًا/شَهْرًا لِلهِ تَعَالَى
“Saya berniat itikaf di masjid ini selama 1 hari/1 malam penuh/1 bulan karena Allah.”
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا
“Saya itikaf di masjid ini selama 1 bulan karena Allah.”
2. Niat itikaf Bernazar
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ فَرْضًا للهِ تَعَالَى
“Saya berniat itikaf di masjid ini fardhu karena Allah.”
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فَرْضًا للهِ تَعَالَى
“Saya berniat itikaf di masjid ini selama satu bulan berturut-turut fardhu karena Allah.”
Dalam itikaf yang mutlak, jika seseorang keluar dari masjid tanpa berniat untuk kembali, kemudian dia kembali, maka dia harus membuat niat kembali. Itikaf yang dilakukan setelah kembali dianggap sebagai itikaf baru. Namun, jika seseorang berniat untuk kembali, baik ke masjid yang sama atau masjid lain, maka niat sebelumnya tetap berlaku dan tidak perlu membuat niat baru.
Hal yang Membatalkan Itikaf
Hal yang dapat membatalkan itikaf pertama adalah bercampur dengan istri. Hal ini selaras dengan hadist sebagai berikut:
وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ
Artinya:“…Allah menegaskan bahwa saat beritikaf di masjid, janganlah bercampur dengan istri, karena itulah ketetapan Allah. Allah memberikan penjelasan yang jelas kepada manusia melalui ayat-ayat-Nya agar mereka bertakwa.”. (QS. al-Baqarah, 2:187).
Jika seseorang keluar dari masjid tanpa alasan yang dibolehkan syariat, maka itu akan membatalkan itikaf. Namun, jika keluar dari masjid karena ada keperluan yang sah seperti buang hajat atau buang air kecil, itu tidak akan membatalkan itikaf.
Diperbolehkan juga keluar dari masjid untuk mengantarkan keluarga pulang atau mengambil makanan di luar masjid, asalkan tidak ada yang dapat mengantarkannya. Aisyah r.a. meriwayatkan hal ini:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ
Artinya, “Aisyah r.a. menceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad s.a.w. melakukan itikaf, beliau mendekatkan kepalanya kepadanya, lalu Aisyah menyisir rambut beliau. Beliau hanya masuk rumah untuk keperluan hajat manusia, seperti buang air besar atau buang air kecil.” (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1889 dan Muslim: 445).