Pengertian Demokrasi Parlementer, Ciri, dan Perjalanannya di Indonesia
Pengertian demokrasi parlementer adalah bentuk pemerintahan di mana kekuasaan dipisahkan antara kepala negara (presiden) dan kepala pemerintahan (parlemen). Konsep ini mulai berkembang pesat setelah Perang Dunia II pada tahun 1945.
Negara-negara di berbagai belahan dunia mulai mendeklarasikan kemerdekaan mereka dan memilih untuk menerapkan sistem demokrasi dalam pemerintahannya. Di Indonesia, sistem demokrasi telah dianut sejak awal kemerdekaan hingga sekarang.
Namun, perjalanan pemerintahan demokrasi di Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Ada banyak dinamika sejarah yang mengiringi kemunculan dan tenggelamnya sistem demokrasi.
Salah satu contohnya adalah perubahan dari demokrasi parlementer menjadi demokrasi presidensial. Perubahan ini terjadi karena adanya pergeseran kekuasaan di antara lembaga-lembaga pemerintahan, kekuasaan presiden menjadi lebih dominan dibandingkan dengan parlemen. Hal ini berdampak pada bentuk sistem pemerintahan di Indonesia.
Pengertian Demokrasi Parlementer
Secara definitif, pengertian demokrasi parlementer adalah konsep pemerintahan di suatu negara yang memberikan wewenang kepada parlemen untuk menjalankan tugas-tugas negara. Parlemen memiliki peran yang fundamental dan kuat dalam menunjuk seorang perdana menteri.
Bahkan, parlemen memiliki legitimasi untuk menggulingkan pemerintahan di suatu negara. Tentu saja, ini berbeda dengan Demokrasi Presidensial yang kekuasaan tertingginya dipegang oleh presiden dan perdana menteri.
Ciri Demokrasi Parlementer
Ciri-ciri dari demokrasi parlementer atau sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut:
- Perdana menteri bertanggung jawab secara langsung dalam memimpin pemerintahan.
- Presiden atau raja berperan sebagai kepala negara.
- Presiden, yang menyatakan badan eksekutif, dipilih secara konsensus oleh badan legislatif (parlemen).
- Perdana menteri memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan menteri dalam pemerintahan.
- Badan legislatif (parlemen) memiliki kekuasaan untuk menggulingkan badan eksekutif (presiden).
Adapun, sistem demokrasi parlementer memiliki beberapa keunggulan yang strategis, antara lain memperecpat pembuatan kebijakan, karena adanya kesepakatan dan ketergantungan antara badan eksekutif dan legislatif.
Kemudian, tidak ada tumpang tindih dalam hal tanggung jawab, implementasi, dan pembuatan kebijakan. Terakhir, adanya kontrol yang ideal dari badan legislatif terhadap badan eksekutif.
Meski memiliki sejumlah kelebihan, demokrasi parlementer tidak luput dari kelemahan. Kelemahan sistem demokrasi parlementer terdiri dari dua, yakni tidak jelasnya waktu pelaksanaan pemilihan umum.
Kedua, terlalu bergantungnya badan eksekutif pada badan legislatif, sehingga pemerintah berpotensi dijatuhkan sewaktu-waktu. Pada saat yang sama, badan eksekutif juga dapat mengontrol badan legislatif sewaktu-waktu jika jumlah partai koalisi di parlemen lebih banyak.
Perjalanan Demokrasi Parlementer di Indonesia
Perjalanan panjang demokrasi parlementer di Indonesia dimulai pada tahun 1950-1959. UUD 1950 secara jelas menerapkan sistem demokrasi parlementer. Secara teknis, perdana menteri yang memimpin kabinet harus bertanggung jawab kepada parlemen, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Karena ini, ada beberapa kabinet yang mendapatkan legitimasi pemerintahan selama 9 tahun, yaitu:
1. Kabinet Natsir
Pertama-tama, terdapat kabinet Natsir yang dipimpin langsung oleh Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Natsir merupakan seorang tokoh politik dari partai Masyumi, partai Islam terbesar pada waktu itu. Natsir menjabat dari tanggal 6 September 1950 hingga 21 Maret 1951.
2. Kabinet Sukiman-Suwirjo
Kedua, terdapat kabinet Sukiman-Suwirjo yang terbentuk dari aliansi politik antara partai Masyumi dan PNI. Dalam kabinet ini, Sukiman Wirjosandjojo menjabat sebagai pemimpin pemerintahan sedangkan Suwirjo sebagai wakil pemimpin pemerintahan. Kabinet ini beroperasi dari tanggal 27 April 2951 hingga 3 April 1952.
3. Kabinet Wilopo
Ketiga, ada kabinet Wilopo yang memimpin dari 3 April 1952 hingga 31 April 1953. Kabinet ini sangat cepat demisioner karena berbagai dinamika politik yang menghantuinya. Misalnya, muncul gerakan separatisme di Indonesia dan dianggap bersalah dalam kejadian Tanjung Morawa di Sumatera Utara.
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I
Ketiga, ada kabinet Wilopo yang memerintah dari tanggal 3 April 1952 hingga tanggal 31 April 1953. Kabinet ini dengan cepat mengundurkan diri karena banyaknya permasalahan politik yang mengganggu. Sebagai contoh, munculnya gerakan pemisahan di Indonesia dan kabinet ini dianggap bertanggung jawab atas insiden Tanjung Morawa di Sumatera Utara.
5. Kabinet Burhanuddin Harahap
Kelima, terdapat kabinet Burhanuddin Harahap yang memimpin pemerintahan dari tanggal 12 Agustus 1955 hingga 24 Maret 1956. Kabinet ini terbentuk melalui koalisi yang melibatkan hampir semua partai politik di parlemen.
6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II
Keenam, Ali Sastroamidjojo kembali menjabat sebagai perdana menteri dari tanggal 24 Maret 1956 hingga 14 Maret 1957. Kabinet Ali II ini merupakan hasil dari koalisi politik antara tiga partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
7. Kabinet Djuanda
Ketujuh dan terakhir, terdapat kabinet Djuanda yang dipimpin oleh Djuanda Kartawidjaja dan terdiri dari 28 menteri. Kabinet ini memerintah dari tanggal 9 April 1957 hingga 6 Juli 1959, sebelum sistem pemerintahan berubah menjadi demokrasi terpimpin yang dipimpin oleh Soekarno.
Demikian penjelasan terkait pengertian demokrasi parlementer, ciri, beserta perjalanan demokrasi di Indonesia pada setiap kabinet yang berdiri.