Bank Mandiri: Jatuhnya 3 Bank AS Berdampak Kecil ke Pasar Keuangan
PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) buka suara terkait kolapsnya tiga bank Amerika Serikat (AS) yakni Silvergate Bank, Silicon Valley Bank (SVB), dan Signature Bank. Seperti diketahui Amerika Serikat sedang menghadapi krisis perbankan akibat kegagalan tiga bank.
Kegagalan tiga bank tentunya menjadi pelajaran bagi sektor perbankan di dunia. Bahkan investor pun mulai khawatir, kejatuhan tiga bank tersebut akan memicu krisis finansial di AS yang dapat merembet ke berbagai belahan dunia lainnya. Bahkan kabar bangkrutnya SVB sempat membuat saham-saham sektor perbankan anjlok.
Namun Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rudi As Aturridha mengatakan, kolapsnya tiga bank di Amerika Serikat dampaknya relatif kecil terhadap pasar keuangan domestik. Sebab menurutnya respon otoritas kebijakan AS yang cepat turut meminimalisir dampak negatif pada pasar keuangan global.
"Meski begitu, penutupan bank di AS salah satunya SVB justru memberi sentimen negatif pada dolar dan menyebabkan dolar indeks melemah, sehingga justru berdampak penguatan pada mata uang regional," katanya kepada Katadata, Jumat (17/3).
Selain itu, pasar juga berekspektasi Fed tidak akan agresif menaikkan suku bunga ke depan sehingga risiko gejolak di pasar keuangan domestik relatif terbatas.
Adapun sebelumnya Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut kejatuhan tiga bank tersebut terjadi karena model bisnisnya yang rentan. Ada beberapa kondisi yang menunjukkan kerentanan tersebut. Pertama, pengumpulan dana yang dilakukan ketiga bank tersebut terkonsentrasi dari deposan-deposan besar yang memiliki karakteristik sama. Mayoritas nasabah ketiga bank itu adalah start up dan perusahaan teknologi keuangan dengan porsi melampaui 90% dari sumber dana pihak ketiga yang dikumpulkan.
Kedua, dana yang dikumpulkan kemudian sebagian besar ditempatkan di surat berharga pemerintah. Memang obligasi tersebut berisiko rendah karena milik pemerintah,
"Sehingga ini lah kenapa kemudian terjadi loss dalam valuasi sekuritasnya saat suku bunga The Fed naik yang kemudian imbal hasil atau yield naik, sehingga harganya jatuh dan terjadi valuasi negatif dari surat-surat berharganya," kata Perry dalam konferensi pers, Kamis (16/3).
Valuasi aset yang negatif alias merugi itulah yang kemudian menggerogoti modal bank, terutama dalam kasus SVB. Saat bank berusaha mencari dana segar melalui penggalangan dana di bursa, muncul rumor sehingga menciptakan kekhawatiran dari deposan soal kondisi keuangan bank.
Namun Perry optimis terhadap kondisi bank di Indonesia. Ia menyebut deposan dari bank-bank di dalam negeri tidak terkonsentrasi, hanya ada sedikit bank yang memiliki konsentrasi deposan berkarakteristik sama, dan itupun presentasinya hanya 35%-40%.