Ketidakpastian Pembayaran Utang AS Picu Wall Street Turun Lagi
Indeks utama Wall Street berakhir lebih rendah pada akhir perdagangan Rabu (24/5). Penyebabnya karena pembicaraan antara Gedung Putih dan negosiator kongres dari Partai Republik tentang peningkatan plafon utang Amerika Serikat berlarut-larut tanpa kesepakatan.
Dow Jones Industrial Average turun 255,6 poin atau 0,8% menjadi 32.799,9. S&P 500 kehilangan 30,3 poin atau 0,7% ke posisi 4.115,2. Begitu juga dengan Nasdaq Composite yang merosot 76,1 poin atau 0,6% menjadi 12.484,2.
Sepuluh dari 11 sektor S&P 500 berakhir di wilayah negatif. Di mana real estate merupakan sektor yang saham-sahamnya paling banyak jatuh di Wall Street. Sedangkan sektor energi menjadi satu-satunya yang berhasil menguat.
Indeks volatilitas CBOE yang dikenal sebagai pengukur rasa takut Wall Street bahkan berada di sekitar level tertinggi.
Lambatnya pembahasan dalam rencana meningkatkan batas utang pemerintah AS sebesar US$ 31,4 triliun menjelang tenggat waktu 1 Juni, telah membuat investor gelisah. Hal itu menandakan risiko gagal bayar pemerintah AS akan semakin besar.
Presiden Demokrat Joe Biden dan negosiator utama Kongres dari Partai Republik, Kevin McCarthy mengadakan apa yang disebut Gedung Putih sebagai pembicaraan produktif.
"Sampai kemarin, investor sangat optimis dengan resolusi plafon utang AS. Tapi sekarang saat semakin dekat ke tanggal 1 Juni, kami melihat beberapa kehati-hatian lagi," kata ahli strategi investasi senior di Edward Jones dikutip dari Reuters Kamis (25/5).
Kebijakan Federal Reserve juga menjadi fokus lain dari para investor. Laju penurunan saham mampu tertahan setelah rilis risalah dari pertemuan bank sentral AS pada 2-3 Mei 2023. Pertemuan menunjukkan bahwa pejabat The Fed secara umum setuju perlunya kenaikan suku bunga lebih lanjut.
Sementara itu, para investor mengharapkan bank sentral dapat menghentikan kampanye kenaikan suku bunga yang agresif pada pertemuan The Fed 13-14 Juni mendatang.
"Ekonomi masih baik-baik saja dan dari sudut pandang The Fed sebenarnya tidak ada alasan untuk mundur dari kebijakan moneter yang lebih ketat," kata penasihat kekayaan senior dan ahli strategi pasar di Murphy & Sylvest Wealth Management Paul Nolte.