Bos BRI Bahas Kebijakan Pembagian Dividen, Ini Katanya
Direktur PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) atau BRI Sunarso menyebut laba perusahaan tidak layak ditahan untuk permodalan. Pernyataan ini dilontarkan dirinya terkait dengan kebijakan dividen yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK.
Sunarso menilai kebijakan pembagian dividen merupakan strategi OJK untuk menjaga keberlanjutan industri perbankan. Diterbitkannya aturan pembagian dividen agar bank dan pemegang sahamnya tidak hanya mengambil untung tanpa memperhatikan keberlanjutan perusahaan seperti permodalan.
Dengan demikian menurutnya, tidak ada masalah mengenai pembagian dividen selama BRI dapat memenuhi kewajiban permodalannya bahkan melebihi ketentuan minimum yang diwajibkan oleh regulator.
Sunarso menjelaskan BRI memperhitungkan counter-cylical risk, yaitu resiko-resiko yang dapat muncul akibat krisis dan bisa terjadi secara berulang. Untuk mengatasi resiko tersebut, perusahaan sediakan kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) minimal 17,5% sesuai dengan regulasi. Namun BRI mencatatkan CAR 27% saat ini, lebih 10% dari ketentuan minimal.
"Berarti sampai lima tahun ke depan kami hanya butuh menggunakan CAR saja. Berarti bisa lima tahun kedepan berapa pun laba BRI tidak layak ditahan sebagai modal," katanya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (26/10).
Adapun dengan kondisi permodalan yang kuat ini serta didukung dengan pertumbuhan kinerja positif yang akan dihasilkan, BRI dapat membagikan dividen dengan rasio di atas 70% untuk jangka waktu dua hingga empat tahun kedepan.
"Laba perusahaan tidak layak ditahan untuk menambah permodalan, karena modalnya terlalu besar bahkan BRI kalau bisa tumbuh, baik organik maupun anorganik," sebutnya.
Sebagai informasi BRI membukukan laba bersih secara konsolidasian senilai Rp 44,21 triliun sampai dengan periode September 2023. Raihan laba tersebut meningkat 12,47% secara tahunan.
Kenaikan perolehan laba bersih ini turut meningkatkan laba bersih per saham dasar BBRI menjadi Rp 292 per saham dibanding periode kuartal ketiga tahun 2022 senilai Rp 259 triliun.