Industri Sawit Malaysia Berjuang Lawan Corona, Tikus dan Kurang Buruh

Cahya Puteri Abdi Rabbi
6 September 2021, 12:50
Malaysia, Covid-19, CPO, sawit
ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/rwa.
Pekerja mengumpulkan buah sawit di sebuah RAM Kelurahan Purnama Dumai, Riau, Jumat (21/5/2021). Harga TBS sawit di Riau periode 19-25 Mei 2021 naik Rp82,49 per kilo menjadi Rp2.646,15 per kilo dan diperkirakan periode berikut harga komoditas tersebut akan terus mengalami kenaikan dikarenakan kebutuhan konsumsi dalam negeri terhadap minyak kelapa sawit mentah (CPO) serta permintaan ekspor bertambah.

Harga sawit terus melonjak selama masa pandemi Covid-19, salah satunya adalah karena penurunan produksi dari Malaysia. Produsen sawit terbesar kedua dunia itu masih berkutat untuk meningkatkan produksi setelah dihadapkan pada sejumlah  persoalan mulai dari masih tingginya kasus Covid-19, kekurangan jumlah pekerja, hingga merajalelanya tikus. 

Pandemi Covid-19 membuat Malaysia banyak kehilangan tenaga kerja karena pemerintah menghentikan suplai tenaga kerja dari Indonesia atau negara Asia Selatan lainnya. Banyak perkebunan di Malaysia yang kemudian terpaksa memanen dengan dua pertiga dari jumlah pekerja yang seharusnya.

"Lebih mudah mencabut gigi sendiri daripada mendapatkan pekerja baru sekarang. Saya tidak dapat menemukan pekerja untuk memelihara ladang," kata manajer perkebunan Ravi, dikutip dari Reuters, Senin (6/9).

 Pengelola perkebunan pun harus menemukan cara-cara kreatif untuk bertahan. Sebuah perkebunan sawit seluas  2.000 hektare di Slim River, Perak, Malaysia, misalnya,  menanam semangka di antara celah-celah pohon sawit. Dia juga menyewa sapi untuk membajak perkebunan sawit yang kini sudah dipenuhi semak belukar.

Krisis tenaga kerja memang tidak hanya dialami oleh Malaysia.  Kanada juga menghadapi persoalan yang sama dengan produksi kanola nya serta Ukraina dengan bijih mataharinya. 

Dilansir dari Reuters, lebih dari setengah lusin pemilik perkebunan mengatakan, kurangnya pekerja telah memaksa mereka untuk memperpanjang masa panen dari 14 hari menjadi 40 hari. Keputusan ini tentu saja membahayakan kualitas buah serta berisiko kehilangan beberapa bagian tanaman produktif seperti tandan buah.

"Ini sangat buruk di Sarawak. Beberapa perusahaan melihat produksi turun 50% karena kekurangan pemanen," kata seorang manajer perkebunan lainnya.

Perkebunan Slim River telah menunda penanaman kembali dan menutup pembibitan untuk pertama kalinya dalam 20 tahun. Manajer perkebunan lainnya, bernama Chew, mengaku terpaksa menaikkan upah sebesar 10% untuk mempertahankan pekerja.

Kurangnya tenaga kerja tidak hanya berimbas pada kualitas sawit tetapi juga membuat pengelola kewalahan untuk membasmi hama. Tidak heran jika kemudian tikus, ngengat, dan ulat kantong merajela di perkebunan. 

"Ini menjadikan perkebunan sebagai tempat yang baik bagi tikus untuk bersarang, mencari makan dan berkembang biak. Predator alami pun tidak dapat mengejar," kata Andrew Cheng Mui Fah, seorang pejabat perkebunan di Sarawak.

Halaman:
Reporter: Cahya Puteri Abdi Rabbi
Editor: Maesaroh
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...