Tidak Mau Terlena Lonjakan Harga Komoditas, Ekspor Manufaktur Digenjot
Kenaikan harga komoditas dalam beberapa bulan terakhir melambungkan nilai ekspor Indonesia pada tahun ini. Namun, pemerintah meyakinkan Indonesia tidak akan mengulang kesalahan sama di masa lalu dengan terlalu menggantungkan ekspor ke komoditas semata. Indonesia akan tetap menggenjot sektor manufaktur sebagai andalan ekspor untuk masa depan.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri mengatakan, bahwa saat ini komoditas tengah memasuki periode supercycle, yakni periode lonjakan permintaan untuk beragam komoditas, yang menyebabkan lonjakan harga.
Periode supercycle komoditas pernah terjadi pada tahun 2011. Kenaikan harga komoditas pada saat itu mampu melambungkan ekspor Indonesia ke level di atas US$200 miliar untuk pertama kalinya.
Data ekspor pada tahun ini juga mirip dengan apa yang terjadi 10 tahun lalu. Kenaikan harga komoditas seperti sawit, tembaga, dan batubara membuat ekspor Indonesia menyentuh level US$21 miliar pada Agustus 2021 atau yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.
Secara keseluruhan, ekspor Indonesia tercatat US$142 miliar pada Januari-Agustus 2021, naik 37,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Faktor komoditi menyokong ekspor seperti yang terjadi saat ini. Yang menjadi catatan kita adalah berubahnya struktur ekspor kita, bukan hanya komoditi saja tapi juga produk berbasis manufaktur. ” kata Kasan dalam UOB Economic Outlook 2022, Rabu (15/9).
Sebagai catatan, saat booming komoditi pada 2011, Indonesia tidak banyak melakukan sejumlah upaya hilirisasi produk komoditas sehingga saat harga turun, ekspor juga turun tajam. Proses hilirisasi baru mulai digalakkan secara signifkan pada tahun 2014 , salah satunya dengan pembangunan smelter.
Data Kementerian Perdagangan menunjukan meskipun komoditas masih menjadi penyumbang terbesar ekspor tetapi beberapa sektor manufaktur juga membukukan nilai ekspor dalam jumlah besar.