Ada Minyak Goreng Satu Harga, Produksi Migor Premium Diprediksi Turun
Kebijakan minyak goreng (migor) satu harga berpotensi menimbulkan masalah baru, yakni perpindahan konsumsi masyarakat dari minyak goreng kemasan sederhana ke kemasan premium.
Namun, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan migrasi konsumsi masyarakat dari minyak goreng kemasan ke premium tidak akan terjadi.
Pasalnya, biaya produksi minyak goreng kemasan premium lebih tinggi dari kemasan sederhana.
Di sisi lain, subsidi yang disiapkan pemerintah tidak membedakan jenis kemasan minyak goreng.
Hal tersebut akan membuat produsen minyak goreng memilih untuk memproduksi minyak goreng kemasan sederhana daripada kemasan premium dalam waktu dekat.
Pada saat yang sama, produsen minyak goreng kemasan sederhana akan meningkatkan kapasitas produksinya.
Dengan demikian, jumlah minyak goreng kemasan premium di pasar akan lebih sedikit dibandingkan kemasan sederhana.
"Ada selisih Rp 5.000, sedangkan yang mungkin dikasihkan (pemerintah) ke (produsen migor) kemasan hanya Rp 3.600. Jadi, mereka (produsen migor kemasan premium) suffer sedikit (saat ini)," kata Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga kepada Katadata, Rabu (19/1).
Sahat mengatakan kebijakan satu harga merupakan langkah yang tepat untuk menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri.
Selain membuat harga minyak goreng lebih terjangkau, kebijakan tersebut akan meningkatkan pasokan minyak sawit di dalam negeri.
Ketersediaan bahan baku berupa minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan refined deoderized and bleached olein (RDBO) akan tinggi dengan adanya kewajiban kontribusi pasokan minyak goreng ke dalam negeri sebagai syarat ekspor.
Sebagai informasi, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mewajibkan seluruh industri minyak sawit mentah (CPO) dan olein untuk menjual sebagian hasil produksinya dalam bentuk minyak goreng ke dalam negeri.
Hal ini menjadi salah satu syarat bagi industri untuk melakukan ekspor.
Sahat menilai volume minyak goreng yang tercantum dalam kebijakan Migor Satu Harga juga terbilang kecil.