Setelah 76 Tahun, RI Ambil Alih Kendali Udara di Natuna dari Singapura
Setelah 76 tahun berada di bawah kendali Singapura, pelayanan navigasi penerbangan pada ruang udara di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna kini menjadi tanggung jawab Indonesia.
Pengambilalihan kendali terwujud setelah Indonesia dan Singapura menandatangani penyesuaian pelayanan ruang udara atau Flight Information Region (FIR).
Sebagai informasi, pelayanan navigasi penerbangan di wilayah Kepulauan Riau (Kepri) dan Natuna menjadi tanggung jawab Otoritas Navigasi Penerbangan Singapura sejak tahun 1946.
Sesuai ketentuan, pesawat Indonesia yang terbang di area tersebut pun harus meminta izin kepada otoritas Singapura walapun terbang di atas wilayah udara Indonesia.
Singapura juga bisa menggunakan wilayah udara tersebut untuk latihan militer udara mereka.
Dengan penyesuaian FIR, Indonesia kini akan melayani navigasi penerbangan di Kepri dan Natuna melalui Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Airnav Indonesia).
Kesepakatan FIR ditandatangani Menteri Perhubungan RI Budi Karya Sumadi dengan Menteri Transportasi Singapura S. Iswaran.
Penandatanganan disaksikan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong, Selasa (25/1), di Pulau Bintan, Kepulauan Riau.
Presiden Jokowi mengatakan dengan adanya penandatanganan perjanjian penyesuaian FIR, maka ruang lingkup FIR Jakarta akan melingkupi seluruh wilayah udara teritorial Indonesia, terutama di daerah Kepulauan Riau dan Kepulauan Natuna.
“Ke depan, diharapkan kerja sama penegakkan hukum, keselamatan penerbangan, dan pertahanan keamanan kedua negara dapat terus diperkuat berdasarkan prinsip saling menguntungkan,” kata Jokowi, dalam keterangan resmi, Selasa (25/1).
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menjelaskan, kesepakatan ini merupakan buah dari berbagai upaya yang telah dilakukan selama bertahun-tahun oleh pemerintah untuk melakukan negosiasi penyesuaian FIR dengan Pemerintah Singapura.
“Alhamdulillah, hari ini merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kita berhasil melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Ini bukti keseriusan pemerintah Indonesia,” kata Budi Karya.
Mantan Direktur Utama PT Angkasa Pura II tersebut mengatakan untuk mempercepat implementasi persetujuan ini, pemerintah secara intensif akan melakukan proses lanjut sesuai perundang-undangan yang berlaku serta ketentuan International Civil Aviation Organization (ICAO).
Penyesuaian FIR ini memiliki sejumlah manfaat bagi Indonesia.
Dengan penyesuaian tersebut maka meneguhkan pengakuan internasional atas status Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki kedaulatan penuh ruang udara di atas wilayahnya, sesuai Konvensi Chicago 1944 dan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS) 1982.
Penyesuaian juga akan semakin meningkatkan kualitas layanan dan juga keselamatan penerbangan di Indonesia.
Adapun substansi kesepakatan lain yang diatur. Di antaranya adalah untuk alasan keselamatan penerbangan, Indonesia masih mendelegasikan kurang dari 1/3 ruang udara (atau sekitar 29%) yang berada di sekitar wilayah Singapura kepada Otoritas Navigasi Penerbangan Singapura secara terbatas.
Namun, biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan pada area layanan yang didelegasikan tersebut menjadi hak Indonesia selaku pemilik ruang udara di area tersebut.
Hal tersebut akan membuat aspek keselamatan tetap terjaga dan tidak ada pendapatan negara yang hilang.
Kemudian, dilakukan Kerja Sama Sipil Militer dalam Manajemen Lalu Lintas Penerbangan, termasuk penempatan personel Indonesia di Singapura dan pengenaan biaya Pelayanan Jasa Navigasi Penerbangan (PJNP), sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Pendelegasian PJNP ini akan diawasi dan dievaluasi secara ketat oleh Kemenhub.
Evaluasi terhadap delegasi PJNP secara terbatas di FIR Indonesia akan dilakukan terhadap Singapura secara berkala maupun secara melekat dengan penempatan personil Indonesia pada menara pengawas penerbangan udara Singapura.
Setelah kesepakata diperoleh, Indonesia dan Singapura harus menyampaikan kesepakatan batas FIR kepada ICAO untuk disahkan.
Merujuk pada catatan Kementerian Perhubungan, FIR di Kepulauan Riau dan Natuna yang dikelola Singapura, berawal ketika Konvensi ICAO di Dublin, Irlandia pada tahun 1946.
Singapura yang saat itu masih dikuasai Inggris dianggap mumpuni secara peralatan dan SDM, sementara Indonesia baru merdeka sehingga tidak hadir pada pertemuan tersebut.
Singapura dan Malaysia kemudian mengelola FIR di wilayah Kepri. Singapura memegang kendali sektor A dan C, sedangkan Malaysia mengendalikan Sektor B.
Pada Tahun 1995 dilakukan perjanjian antara kedua negara yang telah merdeka. Namun, kesepakatan yang diperoleh adalah pengelolaan FIR di Kepri tetap berada di bawah otoritas Singapura.
Sebagaimana diamanatkan UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan pada pasal 458, disebutkan bahwa pelayanan navigasi penerbangan di wilayah udara RI yang di delegasikan negara lain melalui perjanjian, harus dievaluasi dan dilayani Lembaga Navigasi Penerbangan Indonesia paling lambat 15 tahun sejak diundangkan atau pada Tahun 2024.
Pada September 2019, Indonesia dan Singapura menyepakati kerangka Negosiasi FIR. Pada 7 Oktober 2019 tim teknis kedua negara telah bertemu untuk kemudian membahas penyesuaian FIR secara intensif.