Dampak Ekonomi-Sosial Budidaya Ikan Nila Bagi Masyarakat Toba

Image title
Oleh Maidian Reviani - Tim Publikasi Katadata
16 Desember 2021, 17:56
Japfa
Katadata

Sebagai danau terbesar di kawasan Asia Tenggara, Danau Toba menyimpan berbagai potensi ekonomi. Mulai dari usaha transportasi air, pertanian, peternakan, budidaya perikanan, industri, sampai pariwisata. Danau Toba bukan saja menjadi objek keindahan alam, tapi juga membawa kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.

Salah satu kegiatan ekonomi yang paling berkembang di Danau Toba adalah budidaya ikan nila atau tilapia dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA). Perputaran ekonomi budidaya perikanan, khususnya ikan Nila dapat mencapai hingga Rp5 triliun per tahun.

Data Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Sumatera Utara pada tahun 2020 menunjukkan, produksi ikan nila di Danau Toba adalah sebesar 80.941 ton.

Ekspor ikan nila dari Danau Toba juga memberi kontribusi sebesar 21% untuk Produk Domestik Regional Bruto di wilayah Danau Toba dan dinilai jauh lebih besar dari sumbangan sektor lain. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) 2021, volume ekspor ikan nila pada 2020 mencapai 12,29 ribu ton dengan nilai ekspor 1,5 Triliun Rupiah. Dan penyumbang ekspor tilapia terbesar adalah Sumatera Utara, yakni sekitar 95%.

Namun demikian, seiring dengan kebijakan pemerintah pusat yang menetapkan Danau Toba sebagai tujuan wisata super prioritas, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/213/KPTS/2017 tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Danau Toba, serta SK Gub Nomor 188.44/209/KPTS/2017 mengenai Status Trofik Danau Toba. SK menyebut daya dukung Danau Toba untuk KJA menjadi 10.000 ton per tahun, dengan tujuan agar kualitas air yang tercemar dapat terkendali.

SK tersebut menetapkan bahwa Danau Toba merupakan danau berstatus oligotrofik atau danau dengan kandungan zat hara yang sangat rendah. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya untuk memperbaiki atau mengembalikan kesuburan Danau Toba.

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Rokhmin Dahuri menanggapi pembatasan total ikan nila dari KJA sebesar 10.000 ton per tahun menurutnya tidak akan menyelesaikan masalah. Justru, lanjut dia, kebijakan itu akan mengakibatkan berbagai masalah baru seperti puluhan ribu orang menganggur, negara kehilangan devisa Rp1,5 triliun per tahun, kerugian ekonomi mencapai lebih dari Rp5 triliun per tahun. Kemudian, penurunan ekonomi wilayah di sekitar Danau Toba di 7 kabupaten, serta memburuknya iklim investasi dan kemudahan berbisnis.

Perlu diketahui, data GPMT Sumatera Utara 2020 menunjukkan, usaha KJA di Danau Toba menyerap tenaga kerja lebih dari 12.300 orang. Tenaga kerja yang terlibat mulai dari sektor hulu hingga hilir, seperti pabrik pakan, hatchery, pembesaran, bersama pengolahan ikan nila, pabrik es, cold storage, hingga packaging. Jumlah tersebut tidak termasuk tenaga kerja di rumah makan, hotel, bersama dan distribusi, serta jasa terkait lainnya.

“Saya ungkapkan bahwa budidaya ikan nila di Danau Toba itu sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat, itu harusnya ditumbuh kembangkan, bukan untuk dimatikan,” kata Rokhmin dalam Webinar Katadata Forum Virtual Series, dengan tema ‘Potensi Ekonomi-Sosial Ikan Nila Untuk Masyarakat Toba’, Kamis (16/12).

Menurut Rokhmin, sejatinya pariwisata dan aktivitas budidaya ikan dalam KJA yang ramah lingkungan bisa berdampingan dan berkembang bersama, dengan catatan ada pengaturan yang jelas. Kata dia, negara-negara lain seperti Jepang dan Malaysia dapat menjadikan KJA sebagai obyek wisata.

Ia pun memberikan beberapa rekomendasi terkait pengelolaan KJA Danau Toba. Diantaranya, pembatasan produksi ikan nila dari budidaya dalam KJA rata-rata 55.000 ton per tahun, sesuai perhitungan daya dukung Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2018.

Kemudian, semua aktivitas budidaya KJA harus ramah lingkungan dan memiliki sertifikat Cara Budidaya Ikan yang baik dan Benar (CBIB), serta sertifikasi dari lembaga internasional untuk pasar ekspor. Lalu, Zonasi lokasi KJA juga sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) perairan Danau Toba yang disepakati oleh semua stakeholder utama. Serta, diberlakukan juga pembagian zonasi, baik zonasi untuk lokasi budidaya perikanan, industri lainnya maupun pengembangan pariwisata.

"Jadi, kalau ada sektor yang sudah terbukti sebagai pertumbuhan ekonomi, memberikan kesejahteraan masyarakat dan ketahanan pangan, Tidak seharusnya dihilangkan,” ucap Rokhmin.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...