KATADATA - Kebijakan pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) ternyata belum cukup ampuh meredam kenaikan harga barang-barang, terutama harga pangan. Alhasil, komponen harga bergejolak (volatile food) berperan besar mengerek angka inflasi pada bulan pertama tahun ini. Selain pasokan yang terbatas, melambungnya harga pangan akibat margin pedagang terlalu besar dan rantai distribusi yang kelewat panjang.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada Januari 2016 mencapai 0,51 persen. Dibandingkan enam tahun terakhir yang berkisar 0,7 persen hingga 1 persen, inflasi Januari tahun ini memang lebih rendah. Kecuali pada Januari tahun lalu yang mencatatkan deflasi 0,24 persen. Pencapaian itu tak terlepas dari penurunan harga BBM pada awal Januari lalu. “Sebetulnya kalau (harga) BBM tidak turun, inflasi tinggi. Inflasi Januari bisa 0,8 persen-0,9 persen,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo saat pengumuman data inflasi Januari 2016 di kantor BPS, Jakarta, Senin lalu (1/2).

Advertisement

Hal itu tecermin dari tiga komponen pembentuk inflasi. Selama Januari, komponen harga yang diatur pemerintah (administered price), seperti BBM, listrik dan tranportasi mengalami deflasi 0,55 persen. Sedangkan inflasi komponen inti (harga barang yang dipengaruhi kurs dan permintaan-penawaran) sebesar 0,29 persen. Yang paling tinggi adalah inflasi komponen harga bergejolak sebesar 2,4 persen.

(Baca: Harga Sejumlah Pangan Mengerek Inflasi Januari 0,51 Persen)

Kepala BPS Suryamin menyebutkan, 10 komoditas yang mengalami inflasi pada Januari lalu. Yaitu daging ayam dan telur ayam ras, daging sapi, bawang merah, bawang putih, beras, tomat, ikan segar, kentang, dan cabai merah. Salah satu faktor penyebabnya adalah pasokan yang menipis. Daging ayam misalnya, setelah harganya sempat turun, banyak peternak menghentikan proses pembenihan. Alhasil, pasokannya berkurang dan harga kembali naik. “Sesuai hukum ekonomi, permintaan terus meningkat tapi pasokan turun, (maka) harga naik,” katanya.

Namun, sebenarnya tak cuma pasokan minim yang menjadi biang kerok melambungnya harga pangan, seperti beras, cabai, dan daging, sehingga jadi keluhan ibu-ibu rumahtangga belakangan ini. Rantai distribusi yang panjang dari tangan produsen hingga konsumen akhir serta margin jumbo yang dipetik para distributor dan pedagang, turut memicu lonjakan harga pangan.

(Baca: Harga Pangan Naik, Darmin Tengahi Perselisihan Dua Menteri)

Hal tersebut setidaknya tergambar dari survei “Perdagangan Komoditas Strategis 2015” oleh BPS, yang hasilnya dirilis awal pekan ini. Survei yang mencakup seluruh 34 provinsi dan 186 kabupaten/kota ini bertujuan mengetahui pola distribusi perdagangan, peta wilayah distribusi dan margin perdagangan serta pengangkutan. Yakni mulai dari tingkat pedagang besar sampai eceran. Adapun komoditas yang disurvei berdasarkan kriteria paling banyak dikonsumsi masyarakat, berperan membentuk inflasi dan pertumbuhan ekonomi, yaitu beras, cabai merah, bawang merah, jagung pipilan, dan daging ayam ras.

Dari sisi pola distribusi, BPS mencatat lima komoditas strategis itu melibatkan dua hingga sembilan lapis usaha perdagangan dari produsen hingga sampai ke tangan konsumen akhir. Itu terdiri atas produsen, importir atau eksportir, pedagang pengepul, distributor, subdistributor, agen, subagen, pedagang grosir, swalayan/supermarket/pedagang eceran.

Rantai distribusi terpanjang untuk cabai merah, bawang merah, dan jagung pipilan berada di Jawa Tengah. Sedangkan beras dan daging ayam ras di DKI Jakarta. Distribusi cabai merah di Jawa Tengah misalnya, bisa melalui lima lapis distributor dan pedagang: pedagang pengepul ke distributor, lalu subdistributor – agen – pedagang grosir – pengecer atau supermarket, hingga sampai ke konsumen akhir seperti rumahtangga, industri pengolahan dan kegiatan usaha lainnya.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati, Maria Yuniar Ardhiati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement