Credit: Muhammad Zaenuddin/Katadata

Tak bisa dimungkiri, berbagai manfaat bisa diperoleh oleh Indonesia jika sektor transportasi dapat beralih ke tenaga listrik. Salah satunya mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap penggunaan bahan bakar fosil.

Ketergantungan Indonesia pada energi fosil memang cukup besar. Laporan Indonesia Energy Outlook 2019 menyebutkan permintaan energi sektor transportasi Indonesia pada 2018 mencapai 96 persen. Sisanya, kebutuhan energi untuk sektor ini dipasok oleh biodiesel dan gas bumi.

Tak pelak, Indonesia harus bergantung pada impor BBM karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hanya dari produksi dalam negeri. Dampaknya, kenaikan impor minyak tak terelakkan. Dalam estimasi RUEN, Indonesia bahkan diproyeksikan akan mengimpor BBM hingga 716 juta barel pada 2030 dan 1.469 juta barel pada 2050.

Percepatan peralihan kendaraan listrik di Tanah Air perlu segera direalisasikan. Untuk mendorong kebijakan tersebut, IESR menawarkan tiga skenario untuk percepatan penetrasi kendaraan listrik ke pasar otomitif Indonesia. Meliputi skenario Business as Usual (BAU), moderat, dan ambisius.

Semakin ambisius atau semakin banyak moda transportasi yang beralih menggunakan kendaraan listrik, semakin besar potensi manfaat kendaraan jenis ini untuk ketahanan energi nasional.

Menurut kalkulasi IESR pada laporan The Role of Electric Vehicles in Decarbonizing Indonesia’s Road Transport Sector, jika Indonesia mampu beralih ke kendaraan listrik dengan skenario ambisius, potensi penghematan BBM bisa mencapai 36 juta BOE atau setara 16 persen dari kebutuhan 2030 dan 166 juta BOE atau setara 67 persen pada 2050. Skenario ini juga berpotensi mengurangi impor BBM hingga 5 persen pada 2030 dan 11 persen pada 2050.

Penggunaan kendaraan listrik juga merupakan cara untuk mengurangi emisi di sektor transportasi. Sektor ini merupakan salah satu penyumbang emisi terbesar yakni 27 persen, berdasarkan laporan Climate Transparency Report 2020.

Menurut IESR, skenario ambisius penetrasi kendaraan listrik berpotensi mengurangi emisi GRK sebesar 8,4 juta ton CO2 pada 2030 dan 49,5 juta ton CO2 pada 2050. Angka ini berkontribusi masing-masing sekitar 10 persen dan 34 persen dari target penurunan emisi sektor transportasi mengikuti skenario Perjanjian Paris.

Namun, sejumlah tantangan masih menghadang percepatan implementasi kendaraan listrik. Di antaranya ketergantungan Indonesia yang masih cukup besar terhadap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Bahkan, saat ini aktivitas kelistrikan dan pemanasan di Indonesia masih menyumbang emisi CO2 hingga 27 persen.

Risiko emisi dari pembangkit yang mengandalkan energi batu bara ini masih cukup besar. Menurut laporan Climate Transparency, emisi di sektor ketenagalistrikan Indonesia terus menunjukkan peningkatan. Alih-alih menurun, yang terjadi justru pertambahan dari 0,734 tCO2/MWh pada 2014 menjadi 0,761 tCO2/MWh pada 2018.

Meskipun pemerintah berencana menghentikan secara bertahap operasional PLTU batu bara untuk mencapai target netral karbon pada 2025, peran pembangkit listrik jenis ini masih cukup besar. Dalam rentang 2005 hingga 2019 saja, Indonesia telah menambah 25 GW pembangkit listrik tenaga batu bara. Angka ini bahkan meningkat 260 persen dalam kurun waktu 14 tahun, berdasarkan kajian IESR.

Sementara itu, terbatasnya infrastruktur pengisian baterai juga menjadi tantangan tersendiri program kendaraan listrik. Saat ini baru terdapat 65 Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) terpasang di wilayah Jabodetabek.

Adapun pemerintah melalui PLN menargetkan pembangunan 168 SPKLU pada 2021 ini. Kata Ikhsan, untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, PLN sesuai Perpres 55 Tahun 2019 berkewajiban menyediakan infrastruktur pada tahap awal adopsi jenis kendaraan ini di Indonesia.

“Pada Oktober, kami mengadakan perjanjian dengan 19 perusahaan yang bergerak di bidang EV (electric vehicles) yang intinya kami ingin mengajak semuanya membangun infrastruktur,” ujar Ikhsan pada sesi presentasi IDE Conference Katadata 2021.

Padahal, mengutip IESR, hasil studi banding dari 30 negara menunjukkan charging station memiliki korelasi positif terhadap peningkatan pangsa pasar kendaraan listrik di suatu negara.

Infrastruktur pengisian daya lebih memberikan dampak signifikan dibanding pemberian insentif fiskal bagi percepatan penggunaan kendaraan listrik. Menurut laporan IESR, membangun satu stasiun pengisian daya per 100 ribu populasi memiliki dampak dua kali lipat terhadap pangsa pasar kendaraan listrik dibanding memberikan insentif fiskal sebesar US$ 1.000.

Salah satu negara yang menerapkan kebijakan intensifikasi infrastruktur kendaraan listrik adalah Norwegia. Negara ini bahkan telah membangun jaringan pengisian daya jauh sebelum kendaraan listrik masuk ke pasar otomotif negeri tersebut.

Pada 2013, Norwegia telah membangun 4.029 SPKLU dan 127 titik fast-charging kendaraan listrik di mana jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah kendaraan listrik saat itu yang hanya 9.500 unit.

Pada akhir 2020, mengutip situs Parlemen Norwegia, terdapat lebih dari 330.000 mobil listrik baterai (BEV) terdaftar di negara ini. Kendaraan jenis ini bahkan menguasai 54 persen pangsa pasar pada 2020.

Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan intensifikasi infrastruktur dapat meningkatkan penggunaan kendaraan listrik secara signifikan. Keseriusan negara ini beralih menggunakan kendaraan listrik karena didukung oleh kebijakan yang tepat.

Belum usai persoalan infrastruktur, keberlanjutan limbah baterai dan suku cadang kendaraan menjadi isu yang saat ini juga tengah menjadi sorotan. Dalam sebuah jurnal yang terbit di nature.com, Gavin Harper dkk mengkalkulasi potensi limbah baterai yang mungkin akan dihasilkan oleh kendaraan listrik berangkat dari data penjualan jenis kendaraan ini pada 2017.

Jurnal tersebut menyebutkan, asumsi konservatif berat baterai rata-rata 250 kg dan volume mencapai setengah meter kubik, maka akan dihasilkan sekitar 250 ribu ton dan setengah juta meter kubik limbah baterai yang belum diproses ketika jenis kendaraan ini mencapai akhir masa pakainya. Sementara baterai kendaraan listrik harus diganti dalam kurun waktu 3-10 tahun masa pemakaian.

Pada akhir Maret 2021, Katadata berkesempatan mewawancarai salah satu peneliti Koaksi Indonesia, Siti Koiromah mengenai potensi besar industri baterai kendaraan listrik Tanah Air.

Menurut dia, ada persoalan serius dampak lingkungan yang ditimbulkan ketika kebijakan kendaraan listrik berjalan. Saat ini sudah ada peraturan mengenai pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) secara umum, “tapi untuk limbah baterai, belum ada peraturan dan mekanisme yang rinci mengenai pengelolaan atau pemanfaatannya, ” kata Siti saat berdiskusi dengan Katadata.

Menurut Siti, pemerintah harus memperhitungkan dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan dari industri ini. Terlebih lagi Indonesia saat ini menjadi salah satu produsen bahan baku utama komponen pembuatan baterai seperti nikel, kobalt, dan lainnya.

“Pemrosesan nikel dalam jumlah besar memiliki risiko negatif terhadap lingkungan. Sementara di hilir belum ada perusahaan yang ditugaskan untuk mengelola limbah baterai,” ujarnya. Oleh karenanya, dia menekankan pentingnya mengawal sejauh mana Indonesia berkomitmen agar keberlanjutan industri kendaraan listrik dapat dijaga dari hulu hingga hilir.