Credit: Soter Hae

Pemekaran Kabupaten Tambrauw, Papua Barat pada 2008 silam memiliki implikasi lain. Kebijakan ini telah mendorong masyarakat adat yang mendiami wilayah itu untuk memperjuangkan pengakuan wilayah adatnya. Soter Hae, pemuda adat dari marga Tafi menjadi salah seorang yang berada di garis depan membawa agenda ini ke pemerintah daerah.

“Di Papua, tanah hutan itu satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat adat. Itu ‘supermarket’ buat mereka, mereka hidup dari hutan sehingga harus dijaga,” ujarnya membuka cerita pada Agustus.

Dia melanjutkan, masyarakat adat di sekitar wilayah Tambrauw awalnya khawatir tanah mereka akan diambil dan hak-hak adat mereka terabaikan. Pembangunan infrastruktur yang pesat di wilayah Tambrauw, yang masih terhitung muda, dikhawatirkan akan mengusir masyarakat adat di wilayah yang turun-temurun mereka tempati.

Soter Hae, pemuda asli Tambrauw merangkul masyarakat adat agar mereka mendapat haknya. Credit: Soter Hae.

Kondisi ini berkaca dari pembangunan di dua kabupaten terdekat, Sorong dan Manokwari. Belajar dari kedua kabupaten tersebut, masyarakat adat Tambrauw mengambil inisiatif menata wilayah adat untuk menghindari konflik dan mewujudkan perencanaan pembangunan yang baik. “Agar ke depan tidak menimbulkan masalah terkait pengakuan,” ujarnya.

Selain risiko pembangunan, ada juga risiko konflik investasi. Soter menceritakan bahwa banyak masyarakat Tambrauw yang sempat bekerja di Freeport. “Kami mengambil pengalaman penting dan melihat di Tambrauw, terdapat hampir 10 izin eksplorasi perusahaan tambang,” kata Soter.

Menurut dia, proses pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat penting untuk dilakukan sebelum eksplorasi dilakukan. Melihat laju pembangunan yang ada, dikhawatirkan generasi-generasi Tambrauw ke depan akan kehilangan sumber daya alam.

Kelompok pemuda asli Tambrauw, Aka Wuon melakukan pendampingan pemetaan wilayah adat. Credit: Soter Hae.

Bersama kelompok anak muda asli Tambrauw, Aka Wuon, Soter kemudian menginisiasi musyawarah adat tingkat desa. Tujuannya untuk mendapat kesepakatan terkait batas wilayah kepemilikan secara adat dan hak asal-usul setiap marga.

Kegiatan musyawarah ini merupakan titik awal yang penting. Menurut Soter, di wilayah lain ada beberapa tokoh penting yang mengatasnamakan wakil masyarakat adat, namun malah mengorbankan wilayah beberapa kelompok marga. Hal itu yang lantas memicu konflik.

Musyawarah yang berjalan alot antar kepala marga ini menghasilkan kesepakatan profil marga, sejarah asal-usul wilayah kepemilikan, dan tata pengelolaan. Data-data ini yang mendorong lahirnya Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Tambrauw pada 2018.

Fokus awal mereka yang masih berlanjut sampai sejauh ini adalah mengumpulkan data lewat kegiatan musyawarah di tiga distrik alias kecamatan. Terutama di Fef yang merupakan ibu kota Kabupaten Tambrauw.

“Kelanjutannya dari perda ini, untuk mendorong proses pemetaan partisipatif,” ujar Soter.

Salah satu titik yang dipetakan di wilayah Tambrauw. Credit: Soter Hae.

Proses tersebut akan dilakukan karena masih ada masyarakat adat yang melihat adanya potensi irisan antara wilayah adat dengan wilayah konservasi. Ketidakjelasan batas wilayah konservasi dan wilayah adat dikhawatirkan akan memacu konflik lain.

Di sisi lain, proses pemetaan juga menjadi sarana untuk melihat potensi wilayah untuk kepentingan ekonomi maupun peluang wisata. Harapan besarnya, masyarakat adat bisa mengelola wilayah mereka sendiri. “Kami ingin masyarakat adat bisa sejahtera, mandiri dan bermartabat di atas tanahnya sendiri. Mereka harus diakui keberadaannya di atas wilayah adat. Itu tujuan besar kami.”