Harga Minyak Tekan Kurs Rupiah, Ekonom Peringatkan Risiko Inflasi

Image title
26 Mei 2018, 18:38
minyak
Katadata

Tren kenaikan harga minyak mentah dunia berpotensi terus berlanjut. Imbasnya, kebutuhan valuta asing (valas) untuk membiayai impor minyak bakal membesar. Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Putera Rinaldy memprediksi hal tersebut bakal menjadi penekan kurs rupiah yang memicu inflasi di semester II tahun ini, bahkan hingga 2019.

Leo menjelaskan, depresiasi kurs rupiah bakal membuat biaya produksi sejumlah barang di dalam negeri meningkat. “Production cost yang naik itu to some extent produsen akan pass through cost-nya ke konsumen. (Sehingga berdampak ke) consumer price (inflasi) di second half (semester II),” kata dia dalam paparannya kepada media, Jumat (25/5).

(Baca juga: Harga Produk Retail Bisa Naik 5% Akibat Pelemahan Rupiah)

Mengacu pada data Bloomberg, harga minyak mentah dunia terpantau naik signifikan. Sepanjang tahun ini (year to date/ytd) hingga Jumat (25/5), harga minyak brent tercatat naik nyaris 14,8% ke angka US$ 76,44 per barel. Sementara itu, kurs rupiah tercatat bertengger di atas Rp 14.000 per dolar AS, atau naik sekitar 4% secara ytd imbas faktor eksternal dan internal.

Meski begitu, Leo menjelaskan, inflasi tidak akan naik tajam di semester II. Ia memprediksi inflasi tahun ini masih di bawah 4% atau dalam rentang target pemerintah yaitu 2,5-4,5%. Hal itu dengan asumsi, pemerintah mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM) tetap hingga akhir tahun.

Inflasi berisiko lebih tinggi di tahun depan, lantaran harga minyak kemungkinan bakal semakin tinggi dan membuat tekanan kurs berlanjut. “Jadi tahun ini, kami melihat mungkin second half naik, tapi tidak besar, (inflasi) tidak di atas 4%. Tapi yang jadi highlight berisiko inflasi itu tahun depan,” kata dia.

Sementara itu, risiko tekanan kurs imbas faktor internal yaitu defisit transaksi berjalan diprediksi mereda di semester II. Sebab, puncak defisit transaksi berjalan diprediksi berada di triwulan II di antaranya karena tingginya impor saat memasuki Ramadan. “Jadi, faktor dinamika rupiah di second half itu tergantung dari sisi globalnya," kata dia.

Untuk membuat kurs rupiah menguat lagi, Leo mengatakan, Indonesia harus melakukan beberapa transformasi, di antaranya dengan mendorong pengembangan sektor manufaktur yang berorientasi pada ekspor. Sehingga, Indonesia tidak lagi bergantung pada ekspor komoditas Sumber Daya Alam (SDA). Harapannya, ke depan, hal ini bakal memperkuat transaksi berjalan.

Selain itu, Leo mengatakan, Indonesia juga harus menggalakkan pengembangan sektor pariwisata. Pada triwulan I 2017, jasa pariwisata Indonesia tercatat hanya US$ 1 miliar, sedangkan pada periode yang sama 2018 naik menjadi US$ 1,7 miliar. "Jadi, kalau tanpa itu, defisit transaksi berjalan kita bisa melebar lagi," katanya.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...