12 Poin Klarifikasi Sri Mulyani Soal Kehebohan Utang

Martha Ruth Thertina
23 Maret 2018, 19:44
sri mulyani
Arief Kamaludin|Katadata

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya mengeluarkan penjelasan tertulis yang membahas panjang lebar mengenai kondisi utang pemerintah. Paparan tersebut menanggapi banyaknya politisi dan ekonom menyoroti utang pemerintah yang telah menembus Rp 4.000 triliun pada akhir Februari 2018.

Dalam pembukaan tulisannya, Sri Mulyani tampak ‘gerah’ lantaran masalah utang diperdebatkan seolah-olah Indonesia sudah dalam kondisi krisis utang. "Menyoroti utang tanpa melihat konteks besar dan arah kebijakan pemerintahan jelas memberikan kualitas analisis yang tidak lengkap dan bahkan dapat menyesatkan," katanya dalam siaran pers berjudul "Mempermasalahkan Utang", Jumat (23/3). Berikut 12 poin utama yang disampaikannya.

Advertisement

1. Perhatian politisi dan beberapa ekonom mengenai kondisi utang beberapa bulan terakhir sungguh luar biasa. Dikatakan luar biasa dikarenakan isu ini dibuat dan diperdebatkan seolah-olah Indonesia sudah dalam kondisi krisis utang sehingga masyarakat melalui media sosial juga ikut terpengaruh dan sibuk membicarakannya.

Perhatian elite politik, ekonom dan masyarakat terhadap utang tentu sangat berguna bagi Menteri Keuangan selaku Pengelola Keuangan Negara untuk terus menjaga kewaspadaan, agar apa yang dikhawatirkan yaitu terjadinya krisis utang tidak menjadi kenyataan. Namun, kita perlu mendudukkan masalah agar masyarakat dan elite politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan yang menyebabkan kondisi masyarakat menjadi tidak produktif.

Kecuali, kalau memang tujuan mereka yang selalu menyoroti masalah utang adalah untuk membuat masyarakat resah, ketakutan dan menjadi panik, serta untuk kepentingan politik tertentu. Upaya politik destruktif seperti ini sungguh tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun.

(Baca juga: Kemenkeu: Utang Rp 4.000 T Bisa Lunas dalam 8 Tahun, Ini Syaratnya)

2. Utang bukan merupakan tujuan dan bukan pula satu-satunya instrumen kebijakan dalam mengelola perekonomian. Dalam konteks keuangan negara dan neraca keuangan Pemerintah, banyak komponen lain selain utang yang harus juga diperhatikan. Dengan demikian kita melihat masalah dengan lengkap dan proporsional. Misalnya sisi aset yang merupakan akumulasi hasil dari hasil belanja Pemerintah pada masa-masa sebelumnya.

Nilai aset tahun 2016 (audit BPK) adalah sebesar Rp5.456,88 triliun. Nilai ini masih belum termasuk nilai hasil revaluasi yang saat ini masih dalam proses pelaksanaan untuk menunjukkan nilai aktual dari berbagai aset negara mulai dari tanah, gedung, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan lainnya.

Hasil revaluasi aset tahun 2017 terhadap sekitar 40 persen aset negara menunjukkan bahwa nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239 persen dari Rp781 triliun menjadi Rp2.648 triliun, atau kenaikan sebesar Rp1.867 triliun. Tentu nilai ini masih akan diaudit oleh BPK untuk tahun laporan 2017. Kenaikan kekayaan negara tersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang, karena kekayaan negara merupakan pemupukan aset setiap tahun termasuk yang berasal dari utang.

3. Mereka yang membandingkan jumlah nominal utang dengan belanja modal atau bahkan dengan belanja infrastruktur kurang memahami dua hal. Pertama, belanja modal tidak seluruhnya berada di Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat, namun juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Dana transfer ke daerah yang meningkat sangat besar, dari Rp573,7 triliun pada 2015 menjadi Rp766,2 triliun pada 2018, sebagian yaitu sebesar 25 persen diharuskan merupakan belanja modal, meski belum semua Pemerintah Daerah mematuhinya.

Kedua, dalam kategori belanja infrastruktur, tidak seluruhnya merupakan belanja modal, karena untuk dapat membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan yang dalam kategori belanja adalah masuk dalam belanja barang. Oleh karena itu, pernyataan bahwa ‘tambahan utang disebut sebagai tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya’ adalah kesimpulan yang salah.

Ekonom yang baik sangat mengetahui bahwa kualitas institusi yang baik, efisien, dan bersih adalah jenis “soft infrastructure” yang sangat penting bagi kemajuan suatu perekonomian. Belanja institusi ini dimasukkan dalam kategori belanja barang dalam APBN kita.

(Baca juga: INDEF sebut Utang Bertambah Belum Berhasil Dongkrak Ekonomi)

4. Selain melihat neraca, dalam melihat utang perlu juga melihat keseluruhan APBN dan keseluruhan perekonomian. Bila diukur dari jumlah nominal dan rasio terhadap Produk Domestik Bruto, defisit APBN dan posisi utang Pemerintah terus dikendalikan (jauh) di bawah ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara.

Defisit APBN 2016 yang sempat dikhawatirkan akan melebihi 3 persen PDB, dikendalikan dengan pemotongan belanja secara drastis hingga mencapai Rp 167 triliun. Langkah tersebut telah menyebabkan sedikit perlambatan pertumbuhan ekonomi. Demikian juga tahun 2017, defisit APBN yang diperkirakan mencapai 2,92 persen PDB, berhasil diturunkan menjadi sekitar 2,5 persen.

Tahun 2018 ini, target defisit Pemerintah kembali menurun menjadi 2,19 persen PDB. Pada kurun 2005-2010, saat masa saya menjabat Menteri Keuangan sebelum ini, Indonesia berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari 47 persen ke 26 persen, suatu pencapaian yang sangat baik, dan APBN Indonesia menjadi semakin sehat, meski jumlah nominal utang tetap mengalami kenaikan.

5. Mengenai posisi keseimbangan primer, Pemerintah dalam berbagai penjelasan dan siaran pers telah menyatakan akan menurunkan defisit keseimbangan primer, agar APBN menjadi instrumen yang sehat dan sustainable. Buktinya, pada 2015 keseimbangan primer mencapai defisit Rp 142,5 triliun, menurun pada 2016 menjadi Rp 125,6 triliun, dan kembali menurun pada 2017 menjadi sebesar Rp121,5 triliun.

Untuk tahun 2018, Pemerintah menargetkan keseimbangan primer menurun lagi menjadi Rp 87,3 triliun. Tahun 2019 dan ke depan kita akan terus menurunkan defisit keseimbangan primer untuk mencapai nol atau bahkan mencapai surplus.

6. Kebijakan utang dalam APBN juga ditujukan untuk membantu membangun pendalaman pasar keuangan dan obligasi di dalam negeri. Jadi utang tidak hanya sebagai alat menambal defisit belanja Pemerintah, namun juga sebagai alternatif instrumen investasi bagi masyarakat Indonesia.

Kami melihat jumlah investor ritel yang membeli Surat Berharga Negara (SBN) meningkat setiap tahun sejak diterbitkannya SBN ritel tahun 2006, yaitu sebesar 16.561 investor ritel dalam negeri, dan mencapai 83.662 investor ritel pada 2016. Secara total, pada 2018, investor ritel pemegang SBN telah mencapai 501.713.

Bahkan, investor individual ini ada yang berusia di bawah 25 tahun (sekitar 3 persen), hingga di atas 55 tahun. Ibu rumah tangga juga telah mengenal dan berinvestasi pada SBN yang mencapai sekitar 13-16 persen. Kita masih perlu mengembangkan terus pendalaman pasar dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembelian obligasi negara maupun korporasi.

Halaman:
    Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

    Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

    Ikuti kami

    Artikel Terkait

    Video Pilihan
    Loading...
    Advertisement