Jawab Kebutuhan, Pajak Berbagai Profesi Dikaji Ulang
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan tim dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tengah melakukan berbagai kajian untuk membuat formulasi pajak profesi. Tujuannya, agar kebijakan perpajakan menjawab kebutuhan masing-masing profesi.
Meski begitu, ia menekankan, kebijakan pajak akan dijaga tetap sederhana sehingga tidak menyulitkan petugas pajak. “Jangan sampai kami membuat berbagai kebijakan yang kemudian begitu rumit dan kemudian bisa mengurangi kemampuan kami untuk menjalankan,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (12/9).
Maka itu, tim pajak bakal membuat formulasi pajak profesi secara hati-hati. “Kalau makin rumit, aparat pajak kita juga kan manusia. Kalau mereka menjalankan berbagai macam kebijakan berbeda-beda, mereka akan tertekan,” ucapnya. (Baca juga: Bekraf Usulkan Insentif Pajak Penulis ke Kementerian Keuangan)
Pajak profesi kembali jadi sorotan setelah penulis Tere Liye dan beberapa penulis lainnya buka suara soal beratnya beban pajak yang harus ditanggung. Sebagai bentuk protes terhadap pemerintah, penulis Tere Liye bahkan memutuskan untuk menghentikan penerbitan 28 judul bukunya melalui dua penerbit besar yaitu Gramedia dan Republika.
Protes tersebut segera direspons Sri Mulyani. Ia meminta Ditjen Pajak memanggil penulis terkait untuk mengetahui duduk persoalannya. Belakangan, melalui akun instagram pribadinya, Sri Mulyani menjelaskan secara sederhana mengenai ketentuan pajak penulis yang berlaku sekarang ini. (Baca juga: Tere Liye Keluhkan Pajak, Pengamat: Pajak Royalti Penulis Buku Kejam)
Menurut dia, penulis bisa menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dalam menghitung kewajiban pajaknya. Norma berlaku bagi wajib pajak orang pribadi berpendapatan bruto kurang dari Rp 4,8 miliar. Norma untuk profesi penulis yaitu 50% dari penghasilannya baik dari royalti maupun honorarium.
“Maksudnya biaya untuk menghasilkan buku bagi seorang penulis dianggap sebesar 50% dari penghasilannya,” kata dia. Dengan demikian, 50% sisanya merupakan penghasilan neto. (Baca juga: Dee Curhat Soal Royalti Penulis, Beberkan Ketidakadilan Pajak)
Untuk perhitungan pajaknya, penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sehingga diperoleh penghasilan kena pajak. “Kemudian, dari penghasilan kena pajak dihitung pajak penghasilan terutang menggunakan tarif pajak progresif sesuai lapisan penghasilan,” kata dia.
Sementara itu, pajak penghasilan atas royalti yang sudah dipungut penerbit dapat dijadikan sebagai kredit pajak yang akan menjadi pengurang pajak penghasilan terutang. “Diharapkan kebijakan ini dapat memberikan keleluasaan dan keadilan bagi profesi penulis untuk dapat terus bekerja,” kata dia.
Ia pun menyatakan telah meminta Ditjen Pajak untuk menyamakan kembali pemahaman tersebut. Tujuannya, agar tidak terjadi ketidaksamaan pendapat dan perlakuan dalam pelaksanaannya di lapangan, seperti dikeluhkan penulis Tere Liye.
Adapun tentang perubahan kebijakan perpajakan, Sri Mulyani menjelaskan, tidak semuanya berada dalam kewenangannya. Ada kebijakan yang ditetapkan dalam undang-undang (UU) sehingga tidak bisa serta merta diubah oleh Dirjen, Menteri, atau Presiden, misalnya tarif pajak penghasilan (PPh) dan penjenjangan tarif PPh perorangan.
Namun, ada juga kebijakan yang bisa diubah lebih cepat lantaran dalam kewenangan Menteri dan Dirjen Pajak meski tetap melalui konsultasi dengan DPR, misalnya penyesuaian besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi wajib pajak orang pribadi. Selain itu, besaran NPPN.