KATADATA ? UBER adalah contoh terbaru bagaimana kemajuan aplikasi teknologi mengguncang bisnis dunia. Sejak hadir pada 2014, layanan jasa transportasi ini dengan cepat membiak di berbagai kota utama dunia, sekaligus memancing kontroversi.

Lewat aplikasi teknologi, para penyewa mobil dimanjakan dengan beragam kemudahan. Pemesanan cukup dilakukan via telepon genggam. Pembayaran dengan tarif dasar dan tarif per kilometer ini pun tidak perlu tunai dan tanpa tip. Ongkos berkendaraan dibebankan pada kartu kredit si penyewa, dengan tanda terima pembayaran dikirim via surat elektronik alias e-mail.

Advertisement

Kiat-kiat baru itulah yang membuat layanan transportasi mirip taksi ini berhasil mencuri hati para calon penumpang dalam waktu singkat. Akibatnya, para pengelola dan pengemudi taksi konvensional merasa terancam. Buntutnya, gelombang protes merebak di berbagai kota dunia, termasuk Jakarta.

Duo Kalanick-Camp

Perusahaan pembuat aplikasi Uber didirikan oleh Travis Kalanick dan Garrett Camp pada 2009 di San Fransisco, Amerika Serikat. Dengan modal awal US$ 49 juta atau sekitar Rp 637 miliar, Uber kini telah merambah ke 300 kota di 57 negara. Tahun lalu, omzetnya sudah mencapai US$ 18,2 miliar atau sekitar Rp 237 triliun.

Dengan kinerja sekinclong itu, tak mengherankan para investor pun seolah berebut menanamkan modalnya di Uber. Per Februari 2015, nilai investasi yang sudah berhasil diraihnya mencapai US$ 5,9 miliar. Dana itu berasal dari 43 investor, termasuk Lowercase Capital, Menlo Ventures, Goldman Sach, Google Ventures, Fidelity Investments, Wellington Management, dan BlackRock Inc. (Lihat Ekonografik: 300 Kota Pengguna Uber)

Menanggapi sukses yang diraihnya, pendiri dan CEO Uber, Travis Kalanick, bercerita bahwa pendirian Uber yang semula dikemas sebagai perusahaan life-style itu didasari oleh hasrat sederhana. ?Mulanya saya ingin ada aplikasi smartphone yang bisa membawa saya berkeliling San Francisco, layaknya orang kaya, dengan sopir pribadi dan mobil mewah,? ujarnya dalam sebuah wawancara.

Untuk mewujudkan cita-citanya itulah, Kalanick kemudian mengembangkan model bisnis ?sharing economy? dalam layanan jasa transportasi Uber. Melalui peningkatan kapasitas teknologi informasi, model bisnis ini berupaya memberdayakan individu dan korporasi, yang memungkinkan terjadinya distribusi dan pembagian keuntungan. (Lihat Ekonografik: Berebut Kue Bisnis Jasa Taksi)

Gelombang Kontroversi

Tak bisa disangkal, inovasi ini membuat tatanan bisnis layanan taksi konvensional terdesak. Di tengah keterancaman inilah, protes meledak di mana-mana. Pemerintah di berbagai negara pun kedodoran dan responsnya beragam: ada yang melarang, tapi ada pula yang tetap mengizinkan Uber beroperasi dengan sederet regulasi. Inilah reaksi yang muncul di berbagai negara itu: 

Amerika Serikat

Demonstran mayoritas merupakan anggota San Francisco Taxi Workers Alliance, serikat pekerja lokal bagi para pengemudi taksi. Tuntutan mereka, Uber dikenakan aturan yang sama seperti taksi lainnya: asuransi pengemudi dan pengecekan latar belakang pengemudi.

Prancis

Terjadi penyerangan armada Uber oleh pengemudi taksi reguler di sekitar bandara Charles de Gaulle. Mereka merasa Uber diuntungkan peraturan karena tidak harus mengantongi lisensi yang biayanya bisa mencapai US$ 270 ribu.

Inggris

Uber menghadapi salah satu sistem taksi yang paling berakar dan mahal di dunia. Protes datang dari pengemudi ?Black Cab?, ikon taksi di sana. Menurut Licensed Taxi Driver Association (LTDA), dengan sistem biaya berdasarkan jarak, Uber tergolong sebagai taksi, yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh sembarang mobil. Namun, otoritas Transport of London menolak klaim tersebut, karena menganggap tidak ada koneksi fisik antara mobil dan smartphone. Karena itu, Uber diperbolehkan beroperasi kembali.

Jerman

Pertengahan Agustus 2014, otoritas transportasi Berlin melarang Uber beroperasi. Jika melanggar, didenda US$ 34 ribu per pelanggaran. Uber dinilai tidak memenuhi standar keamanan angkutan umum. Namun, karena Uber menggugat ke pengadilan Berlin, maka masih diperbolehkan beroperasi. Pengadilan Frankfurt juga melarang Uber beroperasi karena dinilai sebagai perusahaan tidak resmi. Uber diharuskan membayar izin pengemudi jenis taksi dan mendaftarkan perusahaannya. Kepala Uber di Jerman, Fabien Nestmann, mengatakan, perusahaannya akan membayar 100 euro-200 euro (Rp 1,5-3 juta) untuk melegalkan izin pengemudi taksinya.

Korsel

Sejak diluncurkan pada Agustus 2013, Uber dinilai mengancam pangsa pasar pengemudi taksi reguler dan dianggap tidak memberikan standar keamanan bagi penggunanya. Pemerintah Seoul tengah merancang aturan yang melarang Uber dan berencana membuat aplikasi sendiri yang mirip Uber sebagai penggantinya.

Australia

Halaman:
Reporter: Aliefaini Pryanisa
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement