Perkuat Kewenangan, Komisi Yudisial Tagih RUU Jabatan Hakim ke DPR
Setidaknya dua tahun ini, Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim teronggok di Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota Dewan belum kelar juga menyelesaikannya. Karena itu, Komisi Yudisial menagih realisasi payung hukum ini ke parlemen, juga pemerintah.
Hal ini lantaran Undang-Undang Jabatan Hakim akan mengatur kelembagaan Komisi Yudisial yang lebih kuat. Misalnya, terkait kewenangan memberi sanksi kepada hakim yang melanggar kode etik.
(Baca: Komisi Yudisial Rekomendasikan Sanksi bagi 63 Hakim di 2018)
Wakil Ketua Komisi Maradaman Harahap mengatakan saat ini lembaganya hanya dapat memberikan surat rekomendasi sanksi kepada Mahkamah Agung. Langkah tersebut kurang efektif lantaran rekomendasi dapat ditolak Mahkamah dengan berbagai argumentasi. “Jadi kami tidak bisa menjatuhkan sanksi sendiri,” kata Mardaman di Jakarta, Senin (31/12).
Menurut dia, Komisi telah berkali-kali bertemu dengan DPR untuk menanyakan kemajuan RUU Jabatan Hakim. Namun hal tersebut urung dibahas hingga akhir tahun. Mardaman memperkirakan tahun politik membuat pembahasan beberapa ditunda. Apalagi dia menduga banyak resistensi dari Mahkamah.
Sementara Ketua Komisi Jaja Ahmad Jayus mengatakan UU Jabatan Hakim juga akan mendorong independensi dan akuntabilitas pengadilan. Dampaknya berujung kepada putusan pengadilan yang independen dan diterima secara luas. “Ada bagian tertentu yang jadi bagian Komisi Yudisial dan ada bagian MA,” kata dia.
Pada tahun ini, Komisi telah merekomendasikan ke Mahkamah agar 63 hakim dijatuhkan sanksi ringan hingga berat. Apabila dirinci, usulan hukuman tersebut terdiri dari sanksi ringan bagi 40 hakim, sanksi sedang bagi 11 hakim, dan sanksi berat bagi 12 hakim. Namun dari total 39 putusan, Mahkamah belum merespons rekomendasi dari Komisi.
(Baca: Komisi Yudisial Kaji Dugaan Pelanggaran Etik Praperadilan Century)
Sebelumnya, mantan Ketua Mahkamah Agung Jimly Asshiddiqie pernah mengatakan bahwa kewenangan Komisi Yudisial harus ditambah guna mengawasi penegak hukum lain seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Bukan hanya Mahkamah Agung. Penambahan kewenangan itu bukan bentuk intervensi Komisi kepada lembaga-lembaga tersebut.
Menurut Jimly, saat ini kerja Komisi masih sangat minim, misalnya turut menyeleksi hakim agung, yang sebenarnya bisa dilakukan oleh panitia seleksi. Dia mengibaratkan kinerja Komisi tak ubahnya Dewan Peerwakilan Daerah yang hanya memberi pertimbangan. Padahal, Komisi telah masuk dalam konstitusi yang hal itu hanya berlaku di sedikit negara.