Ricky Yacobi: Hidup dan Mati untuk Sepak Bola

Redaksi
Oleh Redaksi
22 November 2020, 12:54
Seorang warga mengangkat karangan bunga di rumah duka mantan Timnas sepak bola Indonesia Ricky Yacobi di Pondok Ranji, Kota Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (21/11/2020). Ricky Yacobi meninggal dalam usia 57 tahun karena serangan jantung saat bermain sepa
ANTARA FOTO/Fauzan
Seorang warga mengangkat karangan bunga di rumah duka mantan Timnas sepak bola Indonesia Ricky Yacobi di Pondok Ranji, Kota Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (21/11/2020). Ricky Yacobi meninggal dalam usia 57 tahun karena serangan jantung saat bermain sepak bola bersama rekannya pada Sabtu (21/11/2020) pagi.

Indonesia kehilangan salah satu pesepak bola terbaik yang pernah bermain di tim nasional. Ricky Yacobi mengehembuskan napas terakhir pada 21 November 2020 di RS Mintoharjo, Jakarta. Ricky terjatuh di lapangan sepak bola usai mencetak gol dalam pertandingan yang digelar di Lapangan A Senayan, Sabtu pagi.

Ricky Yacob lahir di Medan, Sumatera Utara pada 21 Maret 1963. Dia memulai karirnya bersama PSMS Medan Yunior pada 1979. Namanya mulai dikenal ketika membawa PSMS Medan yunior menjadi juara Piala Suratin pada 1980. Ketika itu, Ricky dkk mengalahkan Persib Bandung di final turnamen khusus untuk pemain berusia di bawah 18 tahun.

Advertisement

Selang dua tahun kemudian, Ricky berhasil menembus skuad senior PSMS Medan. Namun, Ricky gagal menembus pemain inti. Dia tidak merasakan nikmatnya gelar juara Divisi Utama Perserikatan yang direbut PSMS Medan pada 1984 dan 1985.

Pada 1986, Ricky merantau ke Jawa. Dia memutuskan membela klub Galatama Arseto Solo, milik putra sulung Presiden Soeharto, Sigit Harjojudanto. Ketika itu, kompetisi sepak bola di Indonesia terbagi dua yaitu Divisi Utama yang berisi klub perserikatan seperti PSMS Medan, Persib Bandung, dan PSIS Semarang serta Liga Sepak Bola Utama (Galatama) yang berisi klub semi pro seperti Arseto Solo, Niac Mitra, dan Krama Yudha Tiga Berlian.

Secara prestise dan finansial, klub perserikatan jauh lebih baik dibandingkan klub Galatama. Selain dapat sokongan dana dari APBD, klub perserikatan juga mempunyai fans yang fanatik dalam jumlah besar. Apalagi klub besar seperti PSMS Medan, Persib Bandung, dan Persebaya Surabaya.

Ricky Yacobi
Mantan pelatih Timnas sepak bola Indonesia Rahmad Darmawan (kanan) bersama kerabat dan anggota keluarga mengangkat jenazah mantan pemain Timnas sepak bola Indonesia Ricky Yacobi saat hendak disalatkan di Pondok Ranji, Kota Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (21/11/2020). Ricky Yacobi meninggal dalam usia 57 tahun karena serangan jantung saat bermain sepak bola bersama rekannya pada Sabtu (21/11/2020) pagi. (ANTARA FOTO/Fauzan)

Namun, tekad Ricky sudah bulat. PSMS Medan ditinggalkan dan memulai perjalanan baru bersama Arseto Solo. Ketika itu, Arseto Solo adalah runner up Galatama 1985, setelah kalah 1-0 di final dari Krama Yudha Tiga Berlian (KTB). Penyerang  KTB Bambang Nurdiansyah menyabet gelar top scorer alias pencetak gol terbanyak.

Di musim pertama, Ricky gagal membawa Arseto Solo menjadi juara. Krama Yudha Tiga Berlian berhasil mempertahankan gelar juara. Namun, Ricky berhasil meraih gelar top scorer, menyingkirkan rival utamanya yang juga rekan di tim nasional, Bambang Nurdiansyah.

Pelatih tim nasional Bertje Matulapelwa memberi kepercayaan kepada Ricky untuk menjadi penyerang utama tim nasional pada Asian Games 1986 di Korea Selatan. Indonesia satu grup dengan Malaysia, Arab Saudi dan Qatar. Lolos dari babak penyisihan grup bak mimpi di siang bolong.

Di luar dugaan, Indonesia mampu menaham imbang Qatar 1-1 dan menang 1-0 atas Malaysia. Indonesia lolos sebagai runner up grup dan akan menghadapi Uni Emirat Arab di perempat final.

Pada pertandingan melawan Uni Emirat Arab, Ricky Yacob mencetak gol indah untuk timnas Indonesia. Tertinggal satu gol, Ricky Yacob mampu menyamakan skor menjadi 1-1 lewat tendangan voli dari luar kotak penalti. Pertandingan dilanjutkan dengan perpanjangan waktu 2x15 menit.

Indonesia kembali tertinggal 1-2 sebelum bek sayap Jaya Hartono menyamakan kedudukan. Pada adu penalti, Indonesia keluar sebagai pemenang dengan skor 3-2. Sukses ke semifinal menyamai prestasi timnas pada 1962 ketika Asian Games digelar di Jakarta.

Ricky Yacob dan kawan-kawan tak berkutik menghadapi tuan rumah Korea Selatan di semifinal, takluk 0-4. Dalam perebutan medali perunggu, Indonesia juga kalah telak 0-5 dari Kuwait.

Ricky Yacobi
Seorang kerabat mengambil gambar mantan pemain Timnas sepak bola Indonesia Ricky Yacobi yang dipajang di rumah duka di Pondok Ranji, Kota Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (21/11/2020). Ricky Yacobi meninggal dalam usia 57 tahun karena serangan jantung saat bermain sepak bola bersama rekannya pada Sabtu (21/11/2020) pagi. (ANTARA FOTO/Fauzan)

Kegagalan di Asian Games dibayar lunas Ricky Yacob di SEA Games 1987. Menyandang ban kapten, Ricky membawa timnas Indonesia juara setelah mengalahkan Malaysia 1-0 di Stadion Utama Gelora Senayan. Gol kemenangan Indonesia dicetak penyerang PSIS Semarang Ribut Waidi. Itu merupakan kali pertama Indonesia bisa meraih medali emas di ajang SEA Games.

Sukses meraih medali emas SEA Games, para pemain berharap mendapatkan bonus. Harapan tidak juga menjadi kenyataan. Ricky Yacob yang ketika itu adalah kapten timnas berupaya agar para pemain bisa mendapatkan bonus. Caranya, bertamu ke rumah Sigit Harjojudanto, pemilik klub Arseto Solo, klub yang dibela Ricky.

“Ricky tidak hanya pemimpin di lapangan tapi juga di luar lapangan. Dia yang mengupayakan agar para pemain timnas di SEA Games 1987 bisa mendapatkan bonus. Dia memutuskan untuk bertemu dengan Mas Sigit untuk membahas bonus. Tak lama setelah pertemuan itu, bonus untuk para pemain timnas pun cair,” kenang Rully Nere, rekan setim Ricky di SEA Games 1987, ketika dihubungi melalui sambungan telepon, Sabtu (21/11) sore.

Ricky Yacob merupakan sosok penyerang ideal. Dengan tinggi 1,77 meter, Ricky andal dalam bola-bola atas. Dia piawai mencetak gol dengan kepala, serta kaki kanan dan kaki kiri. Sebagai seorang penyerang oportunis, Ricky mempunyai insting yang tajam di dalam kotak penalti.

“Ricky itu mendapat julukan bomber, karena tendangannya sangat keras untuk ukuran pemain sepak bola ketika itu. Dia bisa bikin gol dengan kaki kanan dan kiri. Heading-nya juga bagus, dia tipikal striker murni yang selalu bisa memanfaatkan peluang di dalam kotak penalti. Saat itu, timnas Indonesia masih kekurangan penyerang dengan tipe seperti itu,” ungkap wartawan senior Budiarto Shambazy.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement