Momen Penentu Transisi Energi Menuju Ekonomi Berkelanjutan

Sorta Tobing
29 Desember 2020, 11:00
Pengembangan energi terbarukan di Indonesia jauh tertinggal dari negara lain. Butuh usaha keras untuk transisi energi sehingga menciptakan ekonomi berkelanjutan.
123RF.com/varijanta
Ilustrasi energi terbarukan
  • Pemerintah mengandalkan UU Cipta Kerja untuk menarik investasi serta menciptakan ekonomi hijau dan berkelanjutan.
  • Batu bara masih masif sebagai bahan bakar energi yang memicu emisi karbon.
  • Banyak pekerjaan mesti dibereskan pemerintah pada 2021 untuk mendorong transisi sektor energi.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Gutteres tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Lima tahun sudah Perjanjian Paris berjalan, tapi dunia tetap menuju perubahan iklim yang memburuk.

Ia menyerukan semua negara mendeklarasikan darurat iklim. “Apakah masih ada yang menolak kenyataan bahwa kita tengah menghadapi keadaan darurat?” ujarnya seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (12/12).

Dampak perubahan iklim semakin mencolok sejak 195 negara menandatangani kesepakatan Paris pada 2015. Laporan Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) berjudul World Disasters Report 2020 menyebutkan pada 2019 dunia menghadapi 308 bencana alam.

Sebanyak 77 % dari angka tersebut terkait iklim atau cuaca yang menewaskan sekitar 24,4 ribu orang. Jumlah bencana iklim melonjak 35 % sejak 1990-an. Negara miskin paling terkena dampaknya akibat gelombang panas dan badai mematikan.

Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa alias UNEP pada awal bulan ini menyebutkan bumi terus memanas di atas tiga derajat Celcius pada akhir abad ini. Padahal, tujuan Perjanjian Paris adalah menahan laju peningkatan temperatur global hingga di bawah dua derajat Celcius dari angka sebelum masa Revolusi Industri. Seluruh negara sepakat untuk membatasi perubahan temperatur bumi, setidaknya 1,5 derajat Celcius.

Guterres mengatakan paket pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19 adalah peluang untuk mengatasi perubahan iklim. Namun negara-negara G20 sejauh ini menghabiskan 50 % stimulusnya untuk sektor energi terkait bahan bakar fosil.

PBB bersama dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Dana Dunia untuk Alam (WWF) berkeyakinan pandemi muncul karena kesalahan manusia dalam mengelola lingkungan. Perusakan hutan dan perdagangan satwa liar ilegal menjadi pendorong utama meningkatnya jumlah penyakit dari hewan ke manusia, termasuk MERS, SARS, dan Covid-19.

Ketiga organisasi itu mendorong dunia melakukan perubahan besar. “Risiko penyakit baru yang muncul di masa depan lebih tinggi dari sebelumnya,” tulis mereka, dikutip dari The Guardian pada Juni lalu. “Hal ini berpotensi mendatangkan malapetaka pada kesehatan, ekonomi, dan keamanan global.”

Bagi Indonesia, upaya menekan pemanasan global ini penting didorong. Dalam World Economic Forum, akhir bulan lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan terus membangun ekonomi yang inklusif dan harmonis antara manusia dan lingkungan. Salah satu pintunya melalui Undang-Undang Cipta Kerja -yang kontroversial lantaran banyak diprotes- untuk mempermudah izin usaha dan memberikan kepastian hukum.

Menurut Jokowi, Indonesia berkomitmen untuk mengembangkan ekonomi lebih hijau dan berkelanjutan. Geliat pemulihan ekonomi tidak akan mengabaikan perlindungan terhadap lingkungan. “Perlindungan bagi hutan tropis tetap menjadi prioritas kami sebagai benteng pertahanan terhadap perubahan iklim,” ujarnya.

Beberapa terobosan yang dibanggakannya antara lain pemanfaatan biodiesel B-30, pengembangan green diesel D100 dari kelapa sawit, dan pemasangan ratusan ribu pembangkit listrik tenaga surya di atap rumah tangga. Selain itu ada pengolahan biji nikel menjadi baterai litium untuk telepon genggam dan mobil listrik.

Karena itu Jokowi meyakini bahwa 2021 akan menjadi tahun penuh peluang untuk berperan dalam kebangkitan perekonomian dunia. Dukungan Indonesia, misalnya, dengan membangun ekosistem investasi yang lebih baik. “Saya mengundang masyarakat dunia untuk bergabung dan menanamkan investasi di Indonesia, untuk membangun ekonomi dunia yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan resilient,” kata Jokowi.

Tentu tak sedikit tantangan di balik peluang tersebut.

CLIMATE-CHANGE/ACCORD
CLIMATE-CHANGE/ACCORD (ANTARA FOTO/REUTERS/Susana Ver)

Batu Bara Masih Primadona Sektor Energi

Salah satu langkah besar banyak negara saat ini adalah dekarbonisasi. Negara-negara maju berkomitmen menjadi bebas karbon paling tidak pada 2050. Termasuk di dalamnya adalah Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Inggris, dan Uni Eropa.

Indonesia akan menurunkan gas rumah kaca atau GRK-nya sebanyak 29 % pada 2030. Angkanya menjadi 43 % apabila mendapat bantuan dari pihak luar.

Di sektor energi, upaya tersebut dilakukan melalui transisi dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Namun, dalam penilaian Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2020, Indonesia berada di peringkat 91 di antara 115 negara dalam hal kesiapan transisi energi dan ke 58 dalam kinerja sistem energi. 

Pemanfaatan energi dari panas bumi, matahari, angin, hidro, dan biomassa baru sekitar 2 %. Hanya 12 % listrik negara ini berasal dari energi terbarukan. Angkanya jauh tertinggal ketimbang Filipina yang sudah mencapai 20 %.

Pertamina Energy Institute beberapa waktu lalu melaporkan, batu bara masih menjadi sumber energi utama di Indonesia pada 2019. Porsinya mencapai 38 % dari total energi. 

Minyak menyusul dengan kebutuhan hingga 33 %. Gas dan energi baru terbarukan belum banyak dimanfaatkan. Sebab proprosinya hanya 20 % dan 9 %, seperti terlihat pada Databoks di bawah ini.

Mayoritas pemanfaatan batu bara tersebut untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU. Tak heran, sektor listrik menyumbang emisi karbondioksida terbesar di Tanah Air.

Tentu jumlah emisi itu dapat ditekan dengan penetrasi energi baru terbarukan. Pertamina berpendapat, untuk mencapainya dapat melalui tiga skenario, yaitu business as usualmarket driven, dan green transition. Hanya dengan skenario terakhir emisi karbon dapat berkurang drastis.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan 2021 merupakan tahun penentuan untuk target bauran energi. Pemerintah mematok angkanya di 23 % pada 2025. 

Untuk mencapainya, paling tidak butuh tambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan di atas satu gigawatt (GW). Dengan begitu, di tahun berikutnya angkanya bisa naik hingga dua gigawatt. “Saya optimistis melihat perkembangan energi terbarukan tahun depan,” katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (22/12).  

Sinyal positif itu terlihat dari upaya pemerintah untuk menerbitkan rancangan peraturan presiden harga listrik energi terbarukan. Kemudian, kapasitas pembangkit dari bahan bakar ramah lingkungan bakal naik dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik atau RUPTL 2021-2030. 

Pemulihan harga minyak dapat menjadi faktor pendukung energi terbarukan. Saat ini pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS harganya cukup kompetitif dan lebih murah dari PLTU.

Yang mencemaskan adalah program pencampuran bahan bakar minyak atau BBM dengan minyak kelapa sawit alias biodiesel. Selisih harga minyak dan minyak sawit mentah (CPO) semakin melebar. Bahkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tekor Rp 8 triliun tahun ini.

Subsidi sebesar Rp 2,7 triliun dari pemerintah tidak dapat menutup defisit itu. “Tahun depan, kalau selisihnya tetap sama dengan sekarang, bakal memberatkan pemerintah karena dipaksa untuk subsidi,” kata Fabby.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...