Boediono dan Penggalan Krisis Ekonomi Indonesia

Desy Setyowati
15 Agustus 2016, 16:14
Boediono
KATADATA | Bernard Chaniago

Sudah bertahun-tahun buku itu teronggok dalam lemari. Dia tak pernah melihat catatan kuliahnya tersebut sejak meninggalkan Yogyakarta dan memutuskan ke Ibu Kota Jakarta.

Usai melepaskan jabatan Wakil Presiden pada 2014, Boediono “pulang kampung”. “Setelah saya selesai jadi Wapres, saya cari kerjaan. Jadi, saya buka lagi catatan yang kalau dipoles sedikit, di-update, akan ada gunanya bagi publik,” kata Boediono, Senin, 15 Agustus 2016. (Baca: Boediono "Peringatkan" Pemerintah Bahaya Krisis Finansial).

Mengenakan kemeja putih dipadankan celana abu-abu, di atas podium, dia mengisahkan proses panjang ekonomi Indonesia di hadapan sekitar 200 peserta Indonesia's Economy: Review on Financial and Banking Sector di Universitas Atmajaya, Jakarta. Sebagian cerita ia nukil dari catatan tersebut.

Di sana diungkapkan pandangannya bahwa belajar ekonomi bukan semata belajar logika ekonomi melalui diagram ujian dan sejenisnya. “Dalam praktik, di bidang manapun, perbankan dan lain-lain, perlu ada isi empiris, bukan hanya yang membuat daftar angka dari buku statistik tapi cerita empiris dari negara kita sendiri. Banyak hal yang kita hadapi hari ini terjadi di masa lalu,” ujarnya.

Dari sini, Guru Besar Ekonomi Universitas Gadjah Mada itu lalu memaparkan dua pelajaran dalam menghadapi krisis. Sampel yang diambil berasal dari situasi dalam negeri pada 1950-an. Kisah krisis lainnya terkait kondisi global seperti yang terjadi pada 1997-1998 dan 2007-2008.

Pada 1950-1965, kata mantan Gubernur Bank Indonesia ini, Indonesia belum memiliki pengalaman mumpuni menghadapi situasi ekonomi dan politik setelah merdeka. Minimnya pengalaman terlihat dari usia rata-rata kabinet yang hanya 10 bulan. (Baca: Sri Mulyani: Pertumbuhan Ekonomi Dunia Masih Rapuh).

Akibatnya, keuangan negara menjadi sandra politik sehingga kebijakan pengelolaan keuangan negara tidak dibatasi dengan rambu-rambu yang aman. Utang lalu meningkat dan Bank Indonesia dipaksa membayar biaya politik yang begitu besar tersebut.

Pada masa itu, inflasi mencapai level 20 persen, angka yang tergolong “biasa” di zaman itu. Namun, karena persoalan utang dan defisit anggaran tak lantas diatasi kemudian berdampak pada peningkatan inflasi yang menanjak hingga ratusan persen pada 1960-an. Akibatnya, jumlah uang yang beredar meningkat sehingga harus dibenahi lagi oleh bank sentral.

Pemerintah waktu itu kesulitan menghadapi karena waktunya terbatas dan tidak ada standar bagaimana mengelola keuangan negara yang baik dan sustainable."

Dari peristiwa tersebut, dia menyampaikan bahwa hal yang perlu dipelajari yakni perlunya rambu-rambu yang aman dalam mengelola keuangan negara. Tanpa batasan yang aman, keuangan negara akan menjadi bagian proses politik. (Baca: 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...