Investor Berebut Lelang Surat Utang Negara, Pemerintah Serap Rp 30 T
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan melelang tujuh seri surat utang negara (SUN) pada hari ini. Rupanya, minat pasar sangat tinggi. Nilai penawaran investor hingga Rp 69,95 triliun, dua kali lebih dari target indikatif pemerintah Rp 30 triliun.
Direktur Surat Utang DJPPR Kementerian Keuangan Deni Ridwan mengatakan, penawaran masuk pada lelang hari ini cukup solid. “Apalagi di tengah kondisi pasar global dan domestik yang sedang volatil pasca-rilis pertemuan Bank Sentral AS, The Fed pekan lalu,” kata Deni kepada Katadata.co.id, Selasa (22/6).
Di pasar domestik, kondisi likuiditas sektor keuangan relatif masih tinggi, setidaknya tergambar dari besarnya penawaran yang masuk pada lelang hari ini. Para investor yang masuk itu mendominasi penawaran untuk tenor lima dan 10 tahun, yaitu sebesar 74,5 % dari total penawaran. Sisanya mengambil SUN dengan tenor satu dan tiga tahun.
Deni menyebutkan bahwa proporsi partisipasi investor domestik meningkat tipis pada lelang kali ini, yaitu mencapai 81,3 % apabila dibandingkan dari lelang SUN sebelumnya yang sebesar 80,9 % dari total penawaran. Sementara 18,7% penawaran berasal dari investor asing, yang utamanya berada pada tenor lima dan 10 tahun.
Pada lelang SUN kali ini terdapat penurunan imbal hasil rata-rata tertimbang terbesar pada tenor lima tahun yaitu mencapai 11 basis poin (bps) dibandingkan lelang sebelumnya. “Namun secara umum terdapat kenaikan imbal hasil rata-rata tertimbang obligasi negara yang dilelang 4-20 bps dibandingkan pada lelang sebelumnya,” ujarnya.
Dengan mempertimbangkan rencana kebutuhan pembiayaan tahun 2021, imbal hasil surat berharga negara (SBN) yang wajar di pasar sekunder serta pemenuhan suplai SUN dari pasar perdana, pemerintah memutuskan untuk memenangkan permintaan sebesar Rp 30 triliun atau bid to cover ratio sebesar 2,3 kali. Maka dari itu, tidak diperlukan penyelenggaraan lelang SUN tambahan.
Sebelumnya dana asing mulai keluar dari pasar negara berkembang Asia karena peningkatan kasus Covid-19 yang berpotensi memperlambat pemulihan ekonomi kawasan. Sementara investor memperkirakan ada kemungkinan kenaikan suku bunga di AS dan Eropa.
Berdasarkan data Institute of International Finance, investor asing menjual US$ 500 juta atau setara Rp 7,15 triliun -kurs Rp 14.300 per dolar AS- lebih banyak saham dan obligasi daripada yang mereka beli di pasar negara berkembang Asia pada Mei. Ini menandai arus keluar bersih pertama sejak Desember tahun lalu. Sementara jika mengecualikan Tiongkok, arus modal keluar melonjak menjadi US$ 10,8 miliar atau setara Rp 154 triliun.
Spread suku bunga dapat menjadi faktor yang lebih besar dalam pergerakan modal ke depan. The Fed pada Rabu (16/6) memberikan sinyal kenaikan suku bunga usai pandemi Covid-19 akan dilakukan pertama pada 2023.
Pasar saham di Thailand, Malaysia, Filipina dan Korea Selatan juga mengalami arus keluar modal neto pada bulan Mei. Indeks Komposit Kuala Lumpur Malaysia dan Indeks Komposit PSE di Filipina, misalnya, merosot hingga di bawah level akhir tahun lalu.
Kondisi tersebut terutama disebabkan oleh prospek pertumbuhan ekonomi yang suram. Malaysia memperpanjang lockdown untuk mengendalikan virus hingga akhir bulan ini. Sebagian besar bisnis juga telah menangguhkan operasi.
Thailand telah membatasi jam buka restoran serta turis asing, meskipun perdana menteri sekarang bertujuan untuk membuka kembali negara itu dalam 120 hari. Bulan lalu, Pemerintah Thailand menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi antara 1,5 dan 2,5 %, dibandingkan proyeksi sebelumnya 2,5 hingga 3,5 %.
Investor juga harus mengantisipasi prospek kebijakan moneter. Jika The Fed mengumumkan dimulainya pembicaraan tentang pengurangan pembelian aset yang meningkatkan likuiditas pada akhir tahun ini, hal itu dapat memacu lebih banyak arus keluar modal dari negara berkembang Asia di mana suku bunga relatif rendah.