[Foto] Kain Tenun Ikat Tanimbar Khas Maluku Mulai Bangkit
Provinsi Maluku memiliki wastra tradisional tenun ikat Tanimbar, yang terus berevolusi dan kini populer dengan sebutan tenun Maluku. Wastra ini bukan sekadar sehelai kain karena terkandung juga warisan tradisi, identitas, dan nilai kebersamaan dalam proses pembuatannya.
Ketika sebagian besar kerajinan tradisional dibayangi masalah regenerasi, tenun ikat Tanimbar masih bertahan di pelosok kampung di Kabupaten Kepulauan Tanimbar hingga ke Kota Ambon. Salah satunya kelompok Tenun Ralsasam di Desa Tawiri, Kota Ambon, yang bertahan hingga generasi kedua.
"Ralsasam dalam bahasa Tanimbar berarti satu hati. Nama ini diambil ayah saya dari nama Baileo (rumah adat) di Desa Namtabung, Tanimbar," kata Mikel Watumlawar, generasi kedua dari Kelompok Tenun Ralsasam.
Ayah Mikel, almarhum Niko Watumlawar, merintis Ralsasam di Kota Ambon dengan modal Rp 250 ribu pada 1993. Kelompok tersebut juga bertahan dari dampak pandemi Covid-19, dan tahun ini bisa meraup omzet Rp 10 hingga 15 juta per bulan. Sebelum pandemi, permintaan tenun ikat Tanimbar rutin datang dari Belanda dan Amerika Serikat.
Kelompok Ralsasam menaungi sedikitnya 10 penenun tradisional di Ambon, dan banyak lainnya di Desa Namtabung di Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Para penenun terdiri dari anak muda hingga orang tua. Di Desa Namtabung, tradisi menenun sudah turun-temurun diajarkan ke anak cucu. Kain tenun menjadi identitas masyarakat setempat untuk upacara adat, menyambut tamu, pernikahan, kematian hingga penyelesaian masalah kekerasan dalam rumah tangga.
Keunikan kelompok Ralsasam adalah mempopulerkan lagi pewarna alami untuk benang tenun selain memakai benang pewarna kimia buatan pabrik. Mereka menggunakan kulit pohon mangrove di Tanimbar untuk warna coklat, dan terus mencari warna baru menggunakan tumbuhan-tumbuhan. Ada daun taro untuk warna biru indigo, warna kuning dari kunyit, jambu biji untuk warna merah, hingga campuran beberapa daun untuk mendapatkan warna ungu.
Penggunaan warna alam prosesnya memang lebih lama, mulai dari mencari daun, proses pembusukan daun dan penumbukan untuk mendapatkan sari warna. Kemudian dilanjutkan proses penyelupan benang ke cairan warna alami, penyucian, penjemuran dan pemintalan benang. Pembuatan tenun dengan pewarna alami bisa memakan waktu sampai dua minggu, dan semakin banyak warna digunakan maka semakin banyak orang yang bekerja.
Perkembangan tenun di Maluku selama dua tahun terakhir juga menciptakan ekosistem yang saling menguntungkan. Produk akhir tenun sekarang beragam, salah satunya lewat industri kecil Kabeta Craft yang mendesain produk sehari-hari dikombinasikan dengan tenun Maluku. Hal ini membuat simbiosis mutualisme dalam pengembangan wastra nusantara dan industri kecil di Maluku.
Foto dan Teks : FB Anggoro
ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
Anggota kelompok Ralsasam memetik daun taro yang digunakan sebagai pewarna alami kain tenun ikat Tanimbar, Ambon, Maluku. ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
Anggota kelompok Ralsasam menumbuk daun taro yang digunakan sebagai pewarna alami kain tenun ikat Tanimbar, Ambon, Maluku. ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
Penenun Kelompok Ralsasam menyelesaikan pengerjaan tenun ikat Tanimbar menggunakan alat tenun tradisional di Desa Tawiri, Ambon, Maluku. ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
Anggota kelompok Ralsasam mencampurkan kapur ke dalam cairan pewarna berbahan dasar daun taro yang digunakan sebagai pewarna alami kain tenun ikat Tanimbar, Ambon, Maluku. ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
Anggota kelompok Ralsasam merendam kain ke dalam cairan pewarna berbahan dasar daun taro yang digunakan sebagai pewarna alami kain tenun ikat Tanimbar, Ambon, Maluku. ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
Anggota kelompok Ralsasam mencuci kain yang telah diberi pewarna berbahan dasar daun taro yang digunakan sebagai pewarna alami kain tenun ikat Tanimbar, Ambon, Maluku. ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
Proses pengeringan benang yang telah diberi pewarna buatan berbahan dasar daun taro yang digunakan sebagai pewarna alami kain tenun ikat Tanimbar, Ambon, Maluku. ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
Anggota kelompok Ralsasam menunjukkan tangannya yang bersimpah pewarna buatan usai merendam kain ke dalam cairan pewarna berbahan dasar daun taro yang digunakan sebagai pewarna alami kain tenun ikat Tanimbar, Ambon, Maluku. ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
Penenun Kelompok Ralsasam menyelesaikan pengerjaan tenun ikat Tanimbar menggunakan alat tenun tradisional di Desa Tawiri, Ambon, Maluku. ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
Penenun Kelompok Ralsasam memasang manik-manik saat pengerjaan tenun ikat Tanimbar menggunakan alat tenun tradisional di studio Kabeta Craft, Ambon, Maluku. ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
Penenun Kelompok Ralsasam memotret produk dompet dan tas tenun ikat Tanimbar menggunakan alat tenun tradisional untuk dipasarkan secara digital di studio Kabeta Craft, Ambon, Maluku. ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
Penenun Kelompok Ralsasam memasarkan produk dompet dan tas tenun ikat Tanimbar menggunakan alat tenun tradisional secara digital di studio Kabeta Craft, Ambon, Maluku. ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
Kain ikat Tanimbar yang dibuat menggunakan alat tenun tradisional diperagakan model di acara puncal Gernas BBI Aroma Maluku, Ambon, Maluku. ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.
Kain ikat Tanimbar yang dibuat menggunakan alat tenun tradisional diperagakan model di acara puncal Gernas BBI Aroma Maluku, Ambon, Maluku. ANTARA FOTO/ FB Anggoro/AW.