ASEAN Open Skies dan Pertumbuhan Sektor Pariwisata Nasional

Ridha Aditya Nugraha
Oleh Ridha Aditya Nugraha
10 November 2018, 13:00
Ridha Aditya Nugraha
Ilustrator: Betaria Sarulina
Sejumah wisatawan menyaksikan pergerakan pesawat di landasan pacu Bandara Ngurah Rai dari Pantai Patra Bali, Kuta, Selasa (15/5). Pengelola Bandara Internasional Ngurah Rai rencananya akan memperluas apron dengan menguruk enam hektare kawasan perairan sisi barat bandara untuk mengakomodasi tingginya lalu lintas penerbangan terutama pada pelaksanaan pertemuan IMF dan Bank Dunia, Oktober 2018.

Istilah ASEAN Open Skies nampaknya tidak asing bagi telinga kita. Sayangnya, seringkali terjadi salah kaprah ketika mengejawantahkan kebijakan tersebut.

Beberapa bahkan menganggap ASEAN Open Skies sebagai liberalisasi penuh atas ruang udara nasional; berasumsi siapapun dapat terbang sesuka hati selama memiliki kapasitas mengingat sifatnya yang terbuka. Anggapan tersebut sungguh keliru.

Konsep open skies diperkenalkan pertama kali di Amerika Serikat guna mencari toleransi maksimum terhadap rezim perjanjian bilateral dan regional yang sarat dengan proteksionisme. Dengan kata lain, konsep ini terlahir sebagai wadah perjuangan.

Salah satu misi ASEAN Open Skies yang berlaku sejak 1 Januari 2015 ialah meningkatkan konektivitas antarnegara ASEAN. Kebijakan yang juga dikenal dengan sebutan ASEAN Single Aviation Market ini terdiri dari dua perjanjian multilateral, yakni ASEAN Multilateral Agreement on Air Services (2009) dan ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalization of Passenger Air Services (2010).

Satu hal yang perlu digarisbawahi, ASEAN Open Skies hanya mengakomodasi hingga 5th Freedom of the Air. Regional ini tidak mengizinkan skenario maskapai asing untuk menerbangi dua destinasi dalam suatu negara (cabotage). Tujuannya tidak lain memproteksi pasar domestik bagi maskapai nasional hingga taraf tertentu.

Idealnya, jumlah penumpang maupun kargo akan meningkat mengingat lebih banyak kota-kota ASEAN yang terhubung. Secara tidak langsung, konektivitas domestik berpotensi turut tumbuh. Berbicara perihal terakhir ini, dibutuhkan manajemen transportasi udara yang rapi dan sigap menggapai peluang.

Alhasil, ruang udara nasional akan semakin bernilai ekonomis -suatu tumpuan guna meningkatkan pendapatan negara melalui pelayanan jasa navigasi penerbangan alias Route Air Navigation Service Charges sebagaimana diselenggarakan AirNav Indonesia.

Pada saat bersamaan ASEAN Single Aviation Market menciptakan tanggung jawab lebih bagi TNI Angkatan Udara guna menjamin keamanan penerbangan (flight security) sipil komersial. Lalu-lintas pada langit Indonesia jelas akan semakin ramai, sementara pelanggaran ruang udara sama sekali tidak ditolerir.

Hikmahnya, TNI Angkatan Udara dan Kementerian Pertahanan memiliki alasan kuat guna menambah alutista, mulai dari armada pesawat tempur hingga radar militer.

Upaya Meningkatkan Kunjungan Wisatawan Mancanegara

Dewasa ini, pemerintah sedang berusaha meningkatkan kunjungan turis asing melalui program Visit Indonesia dan Wonderful Indonesia. Targetnya, 20 juta wisatawan mancanegara pada 2019; naik tiga juta dari tahun sebelumnya.

Berbicara soal angka, Thailand layak dijadikan acuan. Mereka berhasil mendatangkan 35 juta turis asing pada tahun 2017. Pencapaian tersebut tidak luput dari peran penting transportasi udara.

Seandainya jeli melihat peluang, ASEAN Open Skies membuka jalan bagi Indonesia guna menjaring lebih banyak turis asing. Beberapa regional hub airport seperti Changi, Kuala Lumpur International Airport dan Suvarnabhumi dapat ‘dimanfaatkan’ untuk mengalirkan wisatawan mancanegara ke seluruh penjuru tanah air.

Penerbangan langsung (direct flight) menuju daerah jelas dibutuhkan. Sudah bukan waktunya lagi mengutamakan sistem hub-and-spoke -demi transit di Bandara Soekarno-Hatta- sekadar untuk memaksimalkan tingkat keterisian pesawat rute domestik. Sungguh egois dan tidak memikirkan perkembangan daerah.

Model bisnis penerbangan sudah jauh berbeda dibandingkan sebelum era liberalisasi. Kini keuntungan penjualan tiket pesawat tidak banyak; apalagi erat dipengaruhi fluktuasi harga minyak serta depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

Dewasa ini, lini pemasukan mengalami diversifikasi, antara lain diperoleh dari komisi atas penjualan produk asuransi perjalanan, rental mobil, hingga kamar hotel atau paket penginapan pada destinasi tujuan.

Halaman:
Ridha Aditya Nugraha
Ridha Aditya Nugraha
Ketua Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...