KATADATA - Begitu menginjak 2016, pemerintahan Presiden Joko Widodo langsung tancap gas. Seperti berpacu dengan waktu, sejumlah proyek infrastruktur mulai digarap. Lelangnya dimulai sejak akhir tahun lalu, seperti pembangunan 70 kilometer jalan tol. Dengan anggaran Rp 14 trilun, Direktorat Jenderal Bina Marga menyebar infrastruktur jalur darat itu di lima kota.

Hal yang sama dilakukan beberapa kementerian lainnya. Alhasil, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyebutkan pengeluaran pemerintah per Februari lalu mencapai Rp 251,5 triliun atau 12 persen dari target Rp 2.095,7 triliun. Dari jumlah itu, belanja modal melebihi Rp 5 triliun, 2,5 persen dari rencana Rp 201,6 triliun. Realisasi ini naik empat kali lipat dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 1,3 triliun. (Baca: Sebagian Proyek Infrastruktur Akan Didanai ADB).

Upaya pemerintah menggenjot proyek-proyek infrastruktur mendapat nilai plus di mata internasional. Bank Pembangunan Asia (ADB), misalnya, menyatakan dengan semua program tersebut Indonesia dapat memimpin laju ekonomi Asia. Karena itu, lembaga keuangan Asia itu memperkirakan ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih dari lima persen pada kuartal pertama ini. Faktor pendorong utamanya dua: investasi pemerintah dan konsumsi rumah tangga.

Country Director ADB untuk Indonesia Steven R. Tabor mengatakan upaya-upaya tersebut membut ekonomi Indonesia sebagai leader di kawasan Asia. Indikasinya, di antaranya, bisa dilihat dari dana asing yang masuk cukup besar. Dampaknya, rupiah menguat. Dari sisi investasi asing langsung alias Foreign Direct Investment (FDI) juga meningkat di kuartal satu, terutama dari Cina. (Baca juga: Ekonomi Global Melambat, 30 Proyek Infrastruktur Jadi Andalan).

Dalam analisanya, ada dua faktor penyebab naiknya realisasi investasi Cina di Indonesia dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pertama, industri di Negeri Panda itu sudah melebihi kapasitas. Kedua, prospek bisnis di Indonesia mulai meningkat. “Kalau sebelumnya ada capital outflow dari Cina, lalu ada capital inflow di Indonesia. Ini minat investor yang paling tinggi dalam sejarah Indonesia,” kata Tabor dalam Asian Development Outlook di Hotel Intercontinental, Jakarta, Rabu, 30 Maret 2016.

Namun, Tabor menekankan agar Indonesia tak bertumpu pada satu sektor semata. Pemerintah perlu mendiversifikasi faktor pendorong ekonomi. Misalnya, memacu pertumbuhan sektor perikanan, pariwisata, atau manufaktur. Untuk pariwisata, potensi besar juga datang dari dari Cina. Data ADB menyebutkan negara tersebut telah mencetak 30 juta paspor baru pada tahun ini. Dengan fakta itu, semestinya pemerintah bisa memanfaatkanya. “Mereka ke Hongkong sudah bosan. Seharusnya ke mana? Ini yang harus diupayakan,” ujarnya.

Pertumbuhan Pariwisata
Pertumbuhan Pariwisata (Katadata)

Menurutnya, pertumbuhan pariwisata Indonesia melejit begitu fantastis. Isu sosial, bahkan keamanan, tak menyurutkan minat wisatawan untuk bertandang ke bumi persada. Sebagai contoh, ketika Jakarta digegerkan oleh ledakan bom dan aksi tembakan di Sarinah pada pertengahan Januari lalu, tingkat kedatangan para pelancong tak menyusut. Alhasil, investasi di sektor pariwisata seperti hotel tetap berkembang. (Baca: Investor Arab Lirik Kawasan Wisata Mandalika dan Tanjung Lesung).

Penjelasan serupa disampaikan Emma Allen. Ekonom ADB untuk Indonesia ini mengatakan pemerintah bisa mendorong sektor pariwisata dan e-commerce. Emma menyebutkan, kontribusi pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 4,2 persen pada 2014. Porsinya ditargetkan meningkat menjadi lima persen pada tahun ini, dan delapan persen pada 2019. Pendapatan sektor ini juga diramal terus meningkat dari Rp 134 triliun pada 2014, menjadi Rp 172 triliun dan Rp 240 triliun pada 2016 dan 2019.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement