Kalutnya Dunia Penerbangan Nasional di Tengah Pandemi Covid-19

Ridha Aditya Nugraha
Oleh Ridha Aditya Nugraha
2 Mei 2020, 08:00
Ridha Aditya Nugraha
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Sejumlah pesawat dari beberapa maskapai penerbangan diparkir di Apron Bandara El Tari Kupang, NTT,Selasa (28/4/2020). Setelah pemerintah melarang penerbangan khusus angkutan penumpang mencegah penyebaran COVID-19 aktivitas di satu-satunya bandara internasional di NTT itu tampak sepi.

Maskapai penerbangan dan operator bandara terdampak serius akibat pandemi Covid-19. Berkurangnya frekuensi penerbangan terjadwal atau scheduled flight secara drastis dalam dua bulan terakhir tanpa kejelasan waktu mengakibatkan banyak kru pesawat dirumahkan. Pemotongan gaji hingga PHK tampil sebagai opsi.

Fenomena global tersebut juga terjadi pada maskapai Indonesia. Kontras dengan dua operator bandara nasional, yakni Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II, yang menyatakan tidak ada pemotongan gaji maupun PHK bagi karyawannya. Perampingan struktur organisasi menjadi jalan keluar mereka (Katadata.co.id, 22/4). 

Advertisement

Dewasa ini banyak negara telah menutup atau mengerem frekuensi penerbangan internasional guna menekan penyebaran virus corona. Beberapa negara, salah satunya Australia, bahkan mempertimbangkan hingga akhir tahun.

Berkaca dari kebijakan tersebut, upaya pemulihan industri penerbangan global akan bertumpu kepada penerbangan domestik. International Air Transport Association (IATA) memprediksi kuartal ketiga tahun ini menjadi tolak awal pemulihan penerbangan domestik dengan catatan situasi kondusif. Pemulihan penerbangan internasional diperkirakan memerlukan waktu lebih lama.

Salah satu tantangan hingga dan ketika memasuki masa pemulihan ialah arus kas (cashflow) maskapai. Permintaan tinggi akan pengembalian dana (refund) tiket pesawat berpotensi mengganggu strategi pemulihan. Tidak heran IATA lebih menyukai penggantian jadwal (reschedule) ketimbang pembatalan penerbangan yang berujung refund agar upaya maskapai tidak layu sebelum berkembang.

Berbicara soal refund, keberadaan opsi ini lumrah dijumpai sebagai wujud hak penumpang maskapai penerbangan. Perihal ini erat bersinggungan dengan hukum perlindungan konsumen dan umumnya termuat secara khusus dalam hukum udara perdata. Logisnya refund berakhir dengan uang tunai. Peraturan beberapa negara yang pro-konsumen berbicara demikian.

(Baca: Tertekan Corona, Maskapai Milik Susi Pudjiastuti Pangkas Gaji Karyawan)

Menjadi soal ketika refund berujung dengan kupon yang hanya dapat digunakan untuk pembelian produk atau terbang dengan maskapai tersebut. Pandemi Covid-19 memang dapat dilihat sebagai suatu keadaan memaksa (force majeure), tetapi belum tentu membenarkan opsi refund dengan kupon ketimbang uang tunai.

Asa Dunia Penerbangan di Indonesia

Indonesia memiliki secerah harapan untuk lebih cepat bangkit mengingat jumlah penerbangan domestik yang signifikan ketimbang penerbangan internasional. Sebagai gambaran, jumlahnya sekitar 96 juta berbanding 19 juta penumpang pada tahun 2017. 

Kontur geografis yang meminimalkan alternatif terhadap moda transportasi udara hingga pengembangan bandara di penjuru Nusantara belakangan ini merupakan modal. Suatu kesempatan yang tidak dimiliki Brunei Darussalam dan Singapura, misalnya, di mana mereka hanya melayani penerbangan internasional sehingga sangat tergantung dengan negara tujuan.

Pemerintah Indonesia telah melarang sementara penerbangan domestik melalui bandara dari dan ke wilayah yang ditetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) maupun zona merah hingga 31 Mei 2020. Kebijakan ini menambah beban maskapai serta operator bandara mengingat sejumlah hub besar layaknya Jakarta (CGK dan HLP), Makassar (UPG), dan Surabaya (SUB) termasuk dalam larangan.

Penerbangan domestik berjadwal akan jauh dari melayani rute gemuk. Alhasil, maskapai berupaya banting setir mengoptimalkan layanan kargo setelah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 mengecualikan untuk melayani wilayah yang termasuk PSBB maupun zona merah.

Pandemi Covid-19 sendiri mengenalkan suatu ‘produk’ baru dalam dunia penerbangan. Salah satunya, pemisahan tempat duduk penumpang selang satu bangku diberlakukan atas dasar protokol kesehatan. Kultur ini mengubah sementara definisi pesawat penuh mengacu perhitungan passenger load factor. Hal ini juga tergantung rute yang dilayani -domestik atau internasional.

Halaman:
Ridha Aditya Nugraha
Ridha Aditya Nugraha
Ketua Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement