Era Mobil Listrik, Siapkah Kita?

Ade Febransyah
Oleh Ade Febransyah
24 September 2020, 07:30
Ade Febransyah
Ilustrator: Betaria Sarulina
Mobil Tesla Model-3 buatan China terlihat saat acara pengiriman di pabriknya di Shanghai, China, Selasa (7/1/2020).

Hadirnya mobil listrik tidak terhindari. Beberapa negara di Eropa sudah menyatakan akan menggunakan kendaraan hijau dan menghentikan penggunaan mobil bensin dalam 10 tahun ke depan.

Di Asia, Tiongkok termasuk yang paling ambisius dalam mendifusikan mobil listrik ke pasar domestik mereka. Para pabrikan di sana giat mengembangkan mobil listrik, mulai dari yang paling terjangkau hingga yang canggih dan futuristik. Masyarakat pembeli diberikan insentif agar dapat membeli dengan harga yang lebih terjangkau. Pemerintah di sana sadar, agar pabrikan mobil listrik tetap ada dan tumbuh, pasar harus dibuat.

Advertisement

Beda di Tiongkok beda juga di negara lain. Di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, inisiatif membuat hingga mengakuisisi pelanggan menjadi urusan perusahaan pembuat. Bagaimana dengan Indonesia? Era mobil listrik sudah di depan mata. Siapkah pelaku bisnis lokal berikut jejaring bisnisnya di sini memanfaatkan sebesar-besarnya dari total nilai pasar industri mobil listrik yang akan terjadi?

Rantai nilai mana yang akan dikuasai? Pemasok bahan baku, barang setengah jadi, desain produk, produksi, atau showroom mobil hingga jasa after sales service? Sungguhkah kita ingin jadi pemain utama mengingat di luar sana nama-nama besar sudah berparade dalam mengembangkan mobil serba listrik? Sungguhkah kita menyiapkan ekosistem yang sehat bagi hidupnya berbagai pelaku bisnis di industri mobil listrik ini?

Kesiapan Ekosistem Mobil Listrik

Keberhasilan Tesla menggerakkan pembuat-pembuat lainnya. Vingroup, pemain baru Vietnam, mengembangkan mobil nasional bernama Vinfast, mencoba bersaing dengan BAIC, BYD, NIO, dan Polestar dari Tiongkok.  

Perubahan lanskap bisnis ini diikuti pemain lain seperti Apple dengan mengakuisisi drive.ai sebuah perusahaan teknologi artificial intelligence untuk proyek EV miliknya, SONY dengan EV prototype model Vision-S menawarkan keamanan dan kemudahan dalam berkendara. Di sinilah platform teknologi mobil listrik menawarkan demokratisasi kepada siapapun. Yang tadinya bukan pembuat mobil listrik, seperti Vingroup, Apple, Sony dan beberapa startup, berparade menjadi pembuat mobil listrik.

Transisi teknologi dari mobil internal combustion engine (ICE) berbahan bakar minyak menjadi EV merupakan hasil dari dukungan berbagai faktor. Salah satunya perkembangan teknologi baterai yang mampu meningkatkan keekonomisan baterai dan daya jelajah EV dalam sekali pengisian baterai.  

Selain itu, ketersediaan jejaring stasiun pengisian baterai akan mempercepat difusi EV. Pemain utama di bisnis energi seperti Royal Dutch Shell memanfaatkan jaringan SPBU yang dimiliki untuk mengantisipasi pengembangan EV. Pertamina maupun PLN dapat melakukan yang sama dalam mendukung percepatan program EV di Indonesia. Bahkan para pabrikan mobil listrik bisa bekerjasama untuk membangun jaringan stasiun pengisi baterai.

Faktor-faktor tersebut membuat potensi pasar EV semakin besar dan menarik bagi produsen ICE, termasuk non-produsen untuk turut berperan dalam pengembangan EV. Beberapa langkah strategis di antaranya dengan melalukan alih teknologi dan inovasi.

Vinfast melakukan leapfrog dengan mengembangkan industri otomotif sendiri melalui kerja sama alih teknologi dengan Opel, BMW, dan Magna Steyr untuk komponen elektronik serta Pininfarina untuk desain. Vinfast dibantu Siemens dalam membangun pabrik fully digital yang mengedepankan efisiensi produksi dan kualitas produk yang dihasilkan.

Kesuksesan mobil listrik, layaknya inovasi pada umumnya, ditentukan oleh kekuatan network interpreter (Verganti, 2009) atau business ecosystem (Moore, 1993). Pabrikan mobil listrik akan sukses jika didukung oleh mitra-mitra stratejik, salah satunya penyedia teknologi baterai. Dan penyedia teknologi baterai juga akan sukses jika mendapatkan keamanan pasokan dari penyedia bahan baku untuk baterai mobil listrik.

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki 2,8 miliar ton potensi cadangan nikel terkira. Jika dilakukan peningkatan faktor pengubah, cadangan itu akan memenuhi kebutuhan fasilitas pemurnian selama 42 tahun yang mendukung pengembangan industri baterai mobil listrik.

Sumber daya batubara dimanfaatkan pembangkit listrik. Indonesia memiliki 149 miliar ton potensi dan 37,6 miliar ton cadangan batubara. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara produsen batubara terbesar di dunia. Berdasarkan RUPTL 2019-2028, target bauran energi pembangkitan mulai akhir 2025 akan menggunakan 54,6% batubara dan 22% gas bumi. Selain itu, pembangkitan akan menggunakan 23% energi baru dan energi terbarukan sebagai sumber energi yang mendukung perpindahan ke mobil listrik bersumber dari energi hijau.

TESLA-RESULTS
TESLA-RESULTS (ANTARA FOTO/REUTERS / Mike Blake/pras/dj)

Selain itu Indonesia berpengalaman di industri perakitan mobil ICE untuk berbagai merk dunia sejak 1972, ditambah dengan pengalaman BUMN melakukan alih teknologi di industri pesawat terbang bekerja sama dengan Spanyol . Demikian juga pada industri pertahanan melalui produksi Tank Harimau bekerja sama dengan Turki.

Halaman:
Ade Febransyah
Ade Febransyah
Guru Inovasi Prasetiya Mulya Business School

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement