Kapan Sektor Energi dan Lingkungan Bisa Akur di Indonesia?

Diwangkara Bagus Nugraha
Oleh Diwangkara Bagus Nugraha
13 Oktober 2020, 07:00
Diwangkara Bagus Nugraha
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Ilustrasi energi terbarukan

Ratifikasi Paris Agreement pada 2016 seharusnya membuat hubungan energi dan lingkungan semakin baik. Saat ini energi dan lingkungan masih tampak saling bermusuhan, padahal semestinya akur. Tanpa silaturahmi yang baik antara kedua sektor ini, ancaman dampak perubahan iklim akan semakin nyata.

Isu lingkungan dan energi mengalami dinamika yang fluktuatif akhir-akhir ini. Pada awal tahun, angin segar bagi perbaikan lingkungan mengalir dari Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan dalam program legislasi nasional. Selain itu, perancangan peraturan presiden mengenai carbon pricing atau nilai ekonomi karbon dan revisi tarif pembangkit energi terbarukan membuka jalan untuk pengembangan energi bersih.

Advertisement

Namun RUU Cipta Kerja, yang baru disahkan, dipandang beberapa pihak, termasuk investor, dapat membawa dampak buruk bagi lingkungan.

Dalam konteks lingkungan, sebenarnya peranan sektor energi yang krusial sudah terlihat dalam dokumen perencanaan perbaikan iklim Indonesia atau Nationally Determined Contribution (NDC). Dokumen ini berisi target penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030.

Sektor energi diprediksi akan menyumbang lebih dari setengah emisi gar rumah kaca pada 2030. Tanggung jawab sektor energi mencapai hampir 40 % dari target penurunan emisi tersebut pada dokumen NDC. Angka-angka ini semakin menguatkan urgensi hubungan baik antara sektor energi dan lingkungan.

Berdasarkan dokumen NDC, penggunaan energi terbarukan dan efisiensi energi ditargetkan menurunkan emisi gas rumah kaca masing-masing 170,45 MTon CO2 dan 96,38 MTon CO2 pada 2030. Jika dijumlahkan, kedua mitigasi ini memegang porsi 85 % dari target penurunan emisi di sektor energi.

Dua aksi mitigasi inilah yang seharusnya menjadi fokus dalam membina hubungan baik dengan lingkungan. Namun implementasinya masih tersendat-sendat.

Rencana umum energi nasional (RUEN) memang direncanakan untuk mengadaptasi usaha perbaikan iklim dan transisi ke energi bersih. Namun realisasi pengembangan sektor energi yang lebih ramah lingkungan masih jauh dari harapan. Target porsi EBT sebesar 23 % dalam bauran energi nasional yang harus dicapai dalam lima tahun mendatang baru 9,15 % pada 2019.

PLTU Batubara masih mendominasi sektor ketenagalistrikan Indonesia. Pada 2019, lebih dari 60 % listrik di Indonesia dihasilkan oleh pembangkit dengan emisi gas rumah kaca tinggi ini. Langkah pemerintah untuk mengonversi PLTD menjadi PLTG dan PLT EBT patut diapresiasi. Walaupun, produksi PLTD hanya berkontribusi sekitar 4 % dari total listrik yang diproduksi pada tahun lalu.

Kebijakan pemanfaatan biodiesel berhasil menjadi sumber penurunan emisi karbon di sektor energi. Kebijakan ini termasuk dalam salah satu bentuk dari aksi mitigasi penggunaan energi terbarukan. Berdasarkan data KLHK, pemanfaatan biodiesel berkontribusi terhadap 15 % dari total penurunan emisi gas rumah kaca akibat aksi mitigasi di sektor energi.

Halaman:
Diwangkara Bagus Nugraha
Diwangkara Bagus Nugraha
Peneliti Energi Purnomo Yusgiantoro Center, Alumnus University of Manchester

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement