Menguatnya Oligarki dari UU Cipta Kerja

Aulia Nastiti
Oleh Aulia Nastiti
14 Oktober 2020, 08:00
Aulia Nastiti
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Aksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai menjadi salah satu upaya untuk melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

Pandemi Covid-19 dan demonstrasi tak menyurutkan langkah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkankan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Meski sempat berjanji untuk menunda, pemerintah justru mengebut penyusunan aturan kontroversial ini, bahkan saat DPR sedang reses.

Proses politik yang problematik dan tidak transparan tentu mengundang pertanyaan. Gelombang penolakan terus muncul menyusul pengesahan UU Cipta Kerja yang memukul mundur hak pekerja. Pemerintah berdalih bahwa UU Cipta Kerja diperlukan untuk memulihkan perekonomian. Asumsinya, pelonggaran aturan kerja akan menarik investor masuk, yang kemudian mendorong pembukaan lapangan kerja.

Celakanya, RUU Cipta Kerja tidak akan berdampak banyak untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Yang terjadi justru regulasi ini akan memperkuat oligarki atau politik mempertahankan kekayaan lewat lobi-lobi dan korupsi.

Hanya Menguntungkan Kalangan Atas

Pemerintah mengklaim desain kebijakan ini memudahkan investasi. Namun, revisi ratusan aturan dalam Omnibus Law tidak akan mendatangkan kemudahan, tetapi justru ketidakpastian di tengah resesi . RUU Cipta Kerja juga solusi salah sasaran karena tidak menyentuh akar masalah utama yang menghambat bisnis di Indonesia, yaitu korupsi.

Pemerintah berargumen bahwa investasi adalah kunci dalam menciptakan lapangan kerja. Sayangnya, data realisasi investasi mengindikasikan bahwa akar masalah pengangguran di Indonesia bukan karena kurang suntikan modal. Analisis ekonom Faisal Basri pun menyebutkan bahwa performa investasi di Indonesia cukup baik. Terbukti dari investasi yang terus naik, tetapi serapan tenaga kerja justru turun.

Realisasi Investasi dan Serapan Tenaga Kerja
Realisasi Investasi dan Serapan Tenaga Kerja (BKPM)

Untuk menjawab mengapa investasi di Indonesia tidak berdampak pada pembukaan lapangan kerja dan perbaikan nasib pekerja, yang perlu dipertanyakan bukan bagaimana menarik investasi, tetapi ke mana modal mengalir.

Data terbaru Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengkonfirmasi bahwa sektor manufaktur yang pernah menjadi andalan kini digantikan oleh sektor jasa atau sektor tersier yang makin mendominasi. Sektor jasa yang paling banyak menyerap modal adalah konstruksi, transportasi, telekomunikasi, dan jasa keuangan/perbankan.

Realiasai Investasi per Sektor 2014 - 2019
Realiasai Investasi per Sektor 2014 - 2019 (BKPM)

Aliran modal di Indonesia punya dampak berbeda dalam dua arah: merugikan ke bawah dan menguntungkan ke atas.

Bagi pekerja kelas menengah ke bawah, tren ini cenderung merugikan.

Pertama, sektor jasa merupakan industri padat modal, bukan padat karya – artinya minim penyerapan tenaga kerja.

Kedua, kualitas relasi kerja di sektor jasa – terutama bagi pekerja yang minim keahlian dan daya tawar pasar – juga cenderung buruk mengingat sektor ini sarat dengan penggunaan outsourcing, penggunaan tenaga kontrak tanpa batas, dan pemecatan sewaktu-waktu. Perlindungan hak pekerja juga minim, salah satunya karena gerakan serikat pekerja dalam sektor ini tidak sekuat di sektor manufaktur.

Salah satu contohnya adalah Gojek dan Grab. Perusahaan aplikasi disorot sebagai primadona dalam menggenjot investasi di Indonesia serta diklaim sebagai solusi membuka lapangan kerja.

Klaim demikian mengabaikan fakta bahwa bisnis inimengaburkan relasi kerja antara pengemudi dan perusahaan. Akibatnya, pekerja tidak punya perlindungan hukum. Kontrak dapat diputus sewaktu-waktu, pemasukan tidak pasti karena tarif dan kebijakan perusahaan terus berubah, serta tidak ada kesempatan untuk upskilling atau peningkatan keahlian.

Akhirnya, investasi yang terus naik tidak berdampak bagi perbaikan lapangan kerja baik secara kuantitas maupun kualitas di Indonesia. Apalagi jika kita bandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara, rata-rata pendapatan riil bulanan yang diterima pekerja di Indonesia masih paling rendah.

Pendapatan Riil Bulanan di Asia Tenggara
Pendapatan Riil Bulanan di Asia Tenggara (ILO, CEIC Data)

Sebaliknya, yang paling diuntungkan dari kenaikan investasi di Indonesia adalah aktor kelas atas, terutama konglomerat dan politikus yang telah mendominasi tatanan kelas sosial-ekonomi di Indonesia.

Dana investasi paling banyak mengalir ke proyek konstruksi infrastruktur dan bangunan, serta sektor listrik, gas, air, telekomunikasi, transportasi, dan keuangan.

Halaman:
Aulia Nastiti
Aulia Nastiti
Ph.D Student in Political Science, Northwestern University
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...