Para Pendengung di Balik Undang-Undang Cipta Kerja

Grady Nagara
Oleh Grady Nagara
17 November 2020, 11:12
Grady Nagara
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Sejumlah buruh yang tergabung dalam Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (16/11/2020).

Riuh penolakan sebagian masyarakat terhadap Omnibus Law Cipta Kerja semakin menguat setelah disahkan menjadi undang-undang. Kalangan akademisi menyoroti permasalahan mulai dari cacat formil hingga implikasi substantif.

Demonstrasi besar-besaran memenuhi jalan di berbagai kota. Sedangkan di media sosial, terutama Twitter, pihak kontra dengan gencar menyerbu undang-undang tersebut melalui berbagai hashtag seperti #MosiTidakPercaya, #CabutOmnibusLaw, dan sebagainya.

Advertisement

Pada saat yang sama, narasi pihak pro UU Cipta Kerja juga berdengung kencang di media sosial. Saya melakukan riset dengan mengambil sampel data tweets dan retweets sejumlah 16.759 melalui browser extension NCapture untuk memetakan aktor dan narasi di balik kata kunci “UU Cipta Kerja” di Twitter. Sampel yang diambil berasal dari tweets dan retweets sejak 5 hingga 7 November 2020. Hasilnya cukup mengejutkan: betapa kuatnya narasi pendengung (buzzer) yang menggaungkan “kebaikan” UU Cipta Kerja.

Sepuluh besar user yang paling gencar mengkampanyekan UU Cipta Kerja secara positif adalah anonim, dan kuat diduga merupakan akun-akun “bayaran” untuk memanipulasi opini publik di media sosial. Akun @MalvaSelena sebagai yang paling gencar, misalnya, secara konsisten melakukan tweets dan retweets mendukung kebijakan pemerintah.

Dalam sebulan terakhir, akun tersebut melakukan tweets yang terus-menerus menyuarakn kebaikan UU Cipta Kerja. Saat perdebatan soal vaksin COVID-19 yang dikritik oleh para ahli karena belum lolos uji klinis tahap ketiga, akun tersebut gencar mengkampanyekan hashtag #VaksinAman.

Para user anonim yang mengkampanyekan UU Cipta Kerja saling berinteraksi satu sama lain melalui fitur mention dan retweet. Mereka juga melakukan mention kepada tokoh-tokoh publik seperti @jokowi dan @airlangga_hrt untuk menyuarakan dukungannya terhadap UU Cipta Kerja.

Namun, berdasarkan temuan riset saya, tidak semua akun-akun anonim tersebut secara keseluruhan saling berinteraksi meskipun menyuarakan narasi yang sama. Tiap-tiap user tersebut tampak membangun jejaring sosialnya sendiri dengan user lain, sehingga membentuk beberapa klaster jaringan sosial tertentu. Perwujudan jaringan sosial tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini: 

User Network Pendukung UU Cipta Kerja
User Network Pendukung UU Cipta Kerja (Katadata | Istimewa (Grady Nagara)

Pada gambar di atas tampak @malvaselena berjejaring dengan user lain yang jika kita periksa, adalah akun anonim serupa. Pada sisi lain, user @willona_007 sebagai akun kedua yang gencar mengkampanyekan kebaikan UU Cipta Kerja setelah @malvaselena, justru membentuk jejaringnya sendiri dengan user lain. Temuan tersebut membawa pada dua dugaan.

Pertama, jaringan sosial yang terbentuk secara terpisah meskipun menyuarakan narasi senada diduga kuat agar isi pesan menjangkau banyak kalangan. Kedua, besar kemungkinan bahwa masing-masing jaringan sosial sesungguhnya dikendalikan oleh satu orang. Mengingat dalam industri buzzer, satu orang dapat mengendalikan bahkan lebih dari 10 user. Secara sengaja masing-masing orang membuat tiap-tiap user yang ada di bawah kendalinya saling retweet dan mention.

Tidak terlalu sulit bagi kita untuk mendeteksi apakah user di Twitter adalah buzzer atau bukan. Pertama, jika kecenderungan anonimitasnya tinggi, menunjukkan bahwa akun tersebut adalah buzzer. Kedua, sebagaimana temuan riset The Guardian (2018) tentang industri buzzer di Indonesia, akun-akun yang dibayar untuk memanipulasi opini publik terlihat konsisten membuat tweets dan melakukan retweets terkait konten tertentu yang memang sudah dipesan oleh klien. Bahkan dalam laporan The Guardian tersebut, klien dari industri buzzer di antaranya adalah politisi bahkan pemerintah.

Pihak yang diduga dari pemerintah atau pro-pemerintah membayar para pendengung untuk mempromosikan UU Cipta Kerja yang penuh perdebatan itu. Tampak bahwa narasi pro UU Cipta Kerja yang dibawa adalah usaha untuk membantah kritik dari pihak kontra kebijakan tersebut.

Halaman:
Grady Nagara
Grady Nagara
Manajer Program Next Policy

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement