Menggugat RUU Larangan Minuman Beralkohol

Choky R. Ramadhan
Oleh Choky R. Ramadhan
20 November 2020, 10:55
Choky R Ramadhan
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Bupati Blitar H.Rijanto (Kiri) menunjukkan botol minuman keras (Miras) lokal hasil operasi gabungan Satpol PP dan Polres Blitar saat pemusnahan barang bukti di halaman Pendopo Sasana Adhi Praja, Blitar, Jawa Timur, Selasa (12/5/2020). Pemusnahan tersebut bertujuan untuk menekan peredaran minuman keras, serta menjaga kesucian bulan Ramadhan, sekaligus menekan angka kriminalitas selama Ramadhan hingga jelang Idul Fitri.

Usulan terbaru Dewan Perwakilan Rakyat untuk melarang pengedaran dan konsumsi minuman beralkohol lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol menimbulkan perdebatan di masyarakat. Undang-undang tersebut mengancam memberikan sanksi hukuman denda hingga penjara bagi siapa saja yang membuat, mengedarkan, membeli, menjual, menyimpan, dan bahkan meminum minuman beralkohol.

Fraksi-fraksi yang mengusung RUU ini -mayoritas adalah partai Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Keadilan Sejahtera- berargumen bahwa UU ini sejalan dengan larangan dalam agama Islam. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa UU ini akan membantu melindungi masyarakat dari dampak negatif kesehatan minuman beralkohol dan menjamin ketertiban masyarakat.

Advertisement

Dengan membandingkan pengaturan yang sejenis di negara-negara lain, saya berpendapat bahwa argumen di belakang rencana pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol tersebut lemah. Aturan tersebut tidak praktis dan realistis dijalankan, apalagi mengingat keterbatasan tenaga penegak hukum, kapasitas tahanan, dan penjara di Indonesia.

Pandangan Islam yang Beragam tentang Minuman Beralkohol

Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia berkali-kali mencoba membuat aturan larangan minuman beralkohol. Beberapa fraksi di DPR pernah mengusulkannya pada 2009 dan mencobanya lagi pada 2014, tapi tidak pernah berhasil karena antarfraksi tidak bisa menemukan kata sepakat.

Tapi kali ini, partai-partai Islam mengajukan usulan larangan terhadap minuman beralkohol kembali dengan alasan untuk menegakkan nilai-nilai Islam.

Jika merujuk pada sejarah Islam, alasan tersebut tidak kuat karena hingga saat ini larangan minuman beralkohol bukan sesuatu yang mutlak dan menjadi perdebatan sejak zaman Nabi Muhammad. Pelarangan minuman beralkohol dan penghukuman bagi pelanggarnya bukan sesuatu yang seragam dalam Islam dan di antara negara mayoritas muslim.

Pada masa Nabi Muhammad, pelarangan khamr, alkohol yang berasal dari anggur terjadi melalui 3 tahap. Awalnya, alkohol tidak dilarang tapi sebaiknya dihindari. Lalu, alkohol kemudian dilarang untuk kondisi tertentu. Hingga akhirnya, alkohol benar-benar dilarang.

Pasca-wafatnya Nabi Muhammad, beberapa ulama dan pemimpin negara Islam berbeda pendapat dalam mengatur atau melarang minuman beralkohol. Perbedaan pendapat tersebut seputar apa saja dikategorikan minuman beralkohol hingga standar yang dipakai untuk membuktikan bahwa orang bersalah.

Ahmad Bin Hanbal, ulama ahli hadis dan hukum Islam dan menjadi rujukan Mazhab Hambali, melarang total mengkonsumsi sesuatu yang dapat memabukkan, baik alkohol maupun narkotik, meskipun sedikit jumlahnya.

Pada abad ke-20 terdapat lagi perdebatan tentang pengaturan minuman beralkohol dalam ajaran Islam.

Ilmuwan muslim abad ke-20 menolak bahwa mengkonsumsi alkohol merupakan suatu kejahatan yang hukumannya diatur secara pasti atau (hudud). Mereka berpendapat hudud hanya terjadi apabila ketentuan hukumannya diatur secara rinci dalam Alquran dan sunnah (ucapan dan perilaku Nabi Muhammad).

Salah satu ilmuwan yang menggugat adalah profesor hukum Islam di Universitas Islam Internasional Malaysia, Mohammad Hashim Kamali. Dia berargumen meminum alkohol merupakan taʿzīr, yang pengaturan dan penghukumannya tergantung kondisi seseorang, kondisi sekitar, dan keputusan pemerintah atau hakim setempat.

Perdebatan tersebut membuat negara-negara muslim tidak seragam dalam melarang alkohol.

Dari 50 negara mayoritas muslim, hanya 5 negara (Afghanistan, Libya, Arab Saudi, Somalia, dan Sudan) yang melarang total dan 10 negara (Brunei Darussalam, Komoro, Iran, Kuwait, Maladewa, Mauritania, Pakistan, Palestina, Suriah, dan Yaman) yang melarang terbatas umat muslim. Mayoritas negara lainnya tidak melarang dan hanya membatasi atau mengatur peredarannya.

Alasan ekonomi (kontribusi industri alkohol) dan keberadaan penduduk atau imigran non-muslim adalah beberapa alasan dari negara-negara muslim yang tidak mengeluarkan aturan larangan minuman beralkohol.

Larangan yang Tidak Efektif

Observasi saya terhadap aturan pelarangan alkohol di beberapa negara menunjukkan bahwa larangan tersebut tidak menjamin terjadinya pengurangan konsumsi dan terciptanya ketertiban masyarakat seperti yang diharapkan DPR.

Di Pakistan, misalnya, larangan alkohol pada 1977  gagal menghentikan orang Pakistan untuk tidak meminum alkhohol. Pelanggarnya dapat diganjar hukuman 80 pecutan.

Halaman:
Choky R. Ramadhan
Choky R. Ramadhan
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement