Mengapa Indonesia Gagal Mengendalikan Tingkat Kematian Covid-19

Irwandy
Oleh Irwandy
7 Desember 2020, 09:58
Irwandy
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Petugas pemakaman memakamkan jenazah Bupati Bangka Tengah Ibnu Saleh di TPU Jalan Muntok, Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, Minggu (4/10/2020). Bupati Bangka Tengah Ibnu Saleh meninggal pada usia 58 tahun di Rumah Sakit Bakti Timah (RSBT). Ibnu Saleh sempat dirawat secara intensif karena terkonfirmasi positif COVID-19.

Dalam sembilan bulan terakhir, lebih dari 17.000 orang Indonesia kehilangan nyawa akibat pandemi Covid-19. Jumlah ini menempatkan Indonesia pada posisi teratas penyumbang kematian akibat virus corona di Asia Tenggara.

Jumlah kematian riil di masyarakat akibat virus ini diprediksi lebih banyak. Namun tidak semua kematian berhasil dideteksi oleh sistem kesehatan, salah satunya karena terbatasnya kapasitas laboratorium tes Covid-19 di negeri ini.

Sebuah riset terbaru dari Massachusetts Institute of Technology Amerika Serikat dengan menggunakan data panel 91 negara, termasuk Indonesia, kasus total dan kematian hingga 30 Oktober 2020 diperkirakan 1,4 kali lebih besar dari laporan resmi.

Secara teori, tingginya kejadian penyakit dan kematian, termasuk dalam kondisi pandemi saat ini tidak hanya disebabkan oleh virus yang menginfeksi. Tingginya angka kematian juga disebabkan oleh beberapa faktor seperti sistem pelayanan kesehatan, perilaku, lingkungan, hingga genetik.

Untuk menekan jumlah kematian yang terus meningkat, empat faktor ini harus menjadi perhatian.

Sistem Pelayanan Kesehatan

The Lancet pada 2018 menerbitkan peringkat 195 negara berdasarkan akses dan kualitas layanan kesehatannya. Hasil pemeringkatan menempatkan Indonesia pada urutan ke-138. Peringkat ini jauh di bawah peringkat Singapura (urutan ke-22), Thailand ke-76, dan Malaysia ke-84.

Dengan level sistem kesehatan seperti itu, saat ini angka kematian akibat Covid-19 di Singapura “hanya” 29 orang (dari sekitar 58 ribu kasus terkonformasi). Thailand 60 orang (dari sekitar 4 ribu kasus) dan Malaysia 363 orang (dari 68 ribu kasus).

Bandingkan angka kasus serupa dengan Indonesia. Pada akhir November saja, angka kematian naik 35,6 % atau dari 626 menjadi 835 kematian dalam satu minggu.

Masih rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ini berpengaruh pada tingginya angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia. Beberapa hasil studi di berbagai negara menemukan pengaruh ini. Indikator seperti efisiensi pelayanan kesehatan, rasio jumlah tenaga kesehatan dengan penduduk, rasio tempat tidur rumah sakit hingga akses masyarakat terhadap rumah sakit memiliki pengaruh terhadap tingginya angka kematian akibat Covid-19.

Studi terbaru dari University of Canberra di 86 negara, termasuk Indonesia, juga menemukan bahwa negara-negara yang memiliki kapasitas pelayanan kesehatan yang baik memiliki angka kematian yang lebih rendah. Setiap kenaikan satu digit indeks kapasitas pelayanan kesehatan dapat menurunkan 42 % kasus kematian.

Beberapa riset di atas telah memperlihatkan bahwa kualitas dan akses layanan kesehatan dapat menekan angka kematian. Namun, penting dipahami bahwa jika jumlah kasus terus bertambah dan terlalu membebani sistem kesehatan, kualitas dan akses layanan kesehatan dalam menekan angka kematian tidak akan berarti.

Sebuah penelitian dari National Taiwan University memperlihatkan hubungan antara tingginya kualitas dan akses layanan kesehatan dengan rendahnya angka kematian akibat Covid-19 pada negara-negara yang memiliki rasio 100 kasus per 1 juta orang. Namun pada negara-negara yang mencapai angka lebih dari 500 kasus per 1 juta orang, hubungan ini menjadi tidak bermakna karena layanan kesehatan telah kelebihan beban.

Selain kecukupan, akses dan mutu layanan kesehatan, dalam konteks pandemi corona yang juga harus menjadi perhatian adalah kemampuan sistem kesehatan melacak dan mengetes orang-orang yang diduga kontak dengan pasien positif.

Dalam konteks menekan angka kematian, pelacakan dan pengetesan menjadi penting agar individu yang terinfeksi dapat segera ditemukan sebelum kesehatannya lebih memburuk. Di Indonesia hingga Oktober, kinerja tes baru mencapai 70 persen dari standar WHO.

Penelitian dari Koç University Turki pada 34 negara OECD (berpenghasilan tinggi) berkesimpulan bahwa di negara-negara yang memiliki kemampuan testing baik, angka kematiannya lebih rendah.

Perilaku Masyarakat

Tingginya kematian akibat Covid-19 di Indonesia juga tak terlepas dari perilaku masyarakat yang masih kurang patuh menjalankan protokol kesehatan (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak).

Riset terbaru Kementerian Kesehatan mengenai perilaku masyarakat Indonesia selama pandemi menemukan baru sekitar 42 % masyarakat yang mencuci tangan dengan baik dan benar. Hanya 54 % responden yang selalu menjaga jarak fisik di tempat-tempat umum.

Halaman:
Irwandy
Irwandy
Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...