Meraba Nasib Industri Migas Indonesia di 2021

Salis Aprilian
Oleh Salis Aprilian
29 Desember 2020, 14:29
Salis Aprilian
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Ilustrasi migas

2020 merupakan tahun paling disruptif untuk hampir semua sektor usaha dan sisi kehidupan kita. Betapa tidak, pandemi Covid-19 yang merebak dari daratan Cina seakan gelombang tsunami yang meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian negara manapun, hingga mengubah tatanan kehidupan dan hubungan sosial kemasyarakatan.

Sampai akhir tahun ini, gelombang susulan yang lebih dahsyat sudah terindikasi dengan ditemukannya virus jenis baru yang sudah menggejala di Inggris, Belanda, Denmark, Irlandia, Cina, dan beberapa negara lainnya. Penggunaan vaksin sebagai solusi yang diharapkan dapat memulihkan keadaan pun dirasa masih jauh dari yang diharapkan.

Advertisement

Apakah hal ini akan berlanjut ke 2021? Sepertinya belum ada yang berani mempublikasikan dengan yakin dan pasti kapan berakhirnya efek pandemi Covid-19. Ini tentu akan membuat kegiatan ekonomi di berbagai negara juga stagnan, bahkan minus.

Jika keadaan tersebut terjadi, keseimbangan kebutuhan dan pasok energi dunia akan seperti tahun ini, yakni terjadi fenomena “(s)low demand and over supply”. Harga energi murah tetapi tidak ada yang membeli karena memang tidak dibutuhkan. Dan, produksi yang tidak dapat dihentikan akan menumpuk di rantai suplai pada tempat-tempat penampungan.

Efek pandemi Covid-19 yang paling menonjol yaitu upaya pencegahannya yang membatasi pergerakan orang. Sehingga, kalaupun ada aktivitas jual-beli di masyarakat, hanya terjadi pada komoditi yang bernar-benar mereka butuhkan. Itu pun sudah dapat dilakukan dengan aplikasi teknologi, tanpa orang harus keluar rumah.

Dan, karena daya beli pun rendah, menjadikan pertumbuhan ekonomi melambat, bahkan bisa jadi negatif. Banyak usaha gulung tikar, pemutusan hubungan kerja di mana-mana, yang akhirnya menambah jumlah pengangguran. Sektor-sektor yang tadinya mengkonsumsi energi besar, seperti pariwisata, restoran, pusat perbelanjaan, logistik, dan transportasi mengalami penurunan kebutuhan yang sangat drastis.

Demikian juga yang terjadi pada sektor minyak dan gas bumi (migas) sebagai sumber energi utama yang kita gunakan untuk bahan baku dan bahan bakar. Rendahnya kebutuhan migas dunia yang dibarengi dengan pasokan migas berlebih akibat perang harga antara Arab Saudi dan Rusia masih menyisakan ketidakmenentuan harga energi di 2021. Ditambah lagi belum diketahui kapan berakhirnya pandemi Covid-19.

Indonesia yang memiliki berbagai potensi sumber energi, sudah lama seharusnya berganti haluan. Tidak saja menargetkan kenaikan produksi minyak dan gas bumi, tetapi juga pemanfaatan sisi hilirnya, dan upaya untuk mendukung pengembangan energi lainnya, yakni energi baru dan terbarukan (EBT). Memanfaatkan kondisi harga minyak rendah ini untuk mengolahnya menjadi barang jadi yang memiliki penambahan nilai (added value).

Inisiasi penelitian dan pengembangan teknologi baterai yang dilakukan oleh konsorsium BUMN energi dan beberapa lembaga penelitian serta perguruan tinggi harus terus didorong dan diberi ruang yang lebih luas. Demikian juga dengan program memproduksi motor dan mobil listrik secara massal yang sudah dicanangkan. Kedua program ini mestinya dilakukan lebih serius dengan tata waktu yang ketat untuk memberi solusi sektor transportasi.

Atas dasar itu, target bauran energi Indonesia yang sudah dipublikasikan oleh Dewan Energi Nasional harusnya dapat dicapai sesuai yang diharapkan. Peran EBT perlahan mendominasi pasok energi kita. Memang secara kuantitas (nominal) kebutuhan migas nasional juga terus naik, tetapi pemanfaatannya pun sudah akan jauh bergeser, dari bahan bakar ke bahan baku.

Pada 2021, beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum akan melanjutkan program yang dimulai dari 2019, yakni memperbanyak modifikasi pelayanannya dengan membangun fasilitas pengisian bahan bakar gas dan pengisian listrik kendaraan umum (SPLU). Dengan semakin maraknya pengguna mobil dan motor listrik, SPLU akan ditempatkan di sudut-sudut strategis. Di pusat-pusat perbelanjaan, di gedung parkir dan perkantoran akan tumbuh usaha SPLU yang menjamur.

Lalu bagaimana nasib sektor hulu migas Indonesia di 2021? Seperti sudah diumumkan ke publik bahwa SKKMigas menargetkan produksi migas nasional sebesar satu juta barel minyak dan 12 miliar kaki kubik gas per hari pada 2030. Sementara produksi rata-rata per hari di 2020 masih di level 705 ribu barel minyak, dan 5,5 miliar kaki kubik gas bumi. Maka, upaya ke arah pencapaian target tersebut sungguh bukan hal yang mudah.

Dengan adanya penurunan secara alamiah produksi di tiap lapangan migas dan belum ditemukannya lapangan-lapangan baru yang miliki cadangan besar, target produksi migas nasional tersebut memerlukan kerja keras dan mendapat perhatian (kebijakan) khusus.

Blok migas Indonesia yang masih berpotensi dapat dipertahankan dan dinaikkan produksinya tidaklah banyak, antara lain: Blok Cepu, Blok Mahakam, Blok Sanga-sanga, Blok Rokan, Blok Sumatra Selatan, Blok ONWJ, Blok Tangguh, Blok IDD, Blok Donggi-Senoro-Matindok, Blok Madura, dan Blok Masela.

Kita perlu memetakan lebih rinci lapangan-lapangan yang ada di blok-blok migas tersebut. Mulai dari kondisi bawah permukaan, lubang sumur (well intervention), fasilitas produksi di permukaan, hingga ke titik serah penjualan.

Halaman:
Salis Aprilian
Salis Aprilian
Founder & CEO Digital Energy Asia - President Director & CEO PT Badak LNG 2015-2017

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement