Potensi Besar Ekonomi Perdagangan Karbon

Rio Christiawan
Oleh Rio Christiawan
31 Desember 2020, 08:30
Rio Christiawan
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) berada di salah satu pohon di kawasan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Minggu (27/12/2020). Kawanan Monyet Ekor Panjang yang berhabitat di hutan kawasan Cisarua tersebut kerap mendatangi pemukiman warga serta mencari makan di area pembuangan sampah.

Perdagangan karbon atau carbon trading secara harafiah dapat dimaknai sebagai negara atau polluter yang memproduksi emisi karbon lebih banyak dapat membeli hak untuk mengeluarkan emisi tersebut dari wilayahnya. Sementara negara yang memiliki emisi yang lebih sedikit bisa menjual hak menghasilkan emisi sesuai batas kepada negara atau wilayah lainnya.

Dengan mengeluarkan karbon yang dihasilkan, diharapkan negara-negara atau polluter tersebut memenuhi persyaratan jumlah emisi karbon maksimal yang telah ditetapkan. Carbon trading ini menjadi metode pengurangan emisi karbon paling hemat biaya yang bisa dieksploitasi.

Advertisement

Perdagangan karbon mulai dikenal sejak protokol Kyoto yang membahas perubahan iklim. Lanjutan langkah tersebut yakni Paris Agreement atau yang lebih dikenal sebagai Convention of Paris (CoP). Paris Agreement mengikat negara-negara yang meratifikasi konvensi tersebut untuk menerapkan batas maksimal emisi karbon.

Dengan kata lain, negara-negara industrialis yang menghasilkan emisi karbon melebihi standar Paris Agreement wajib untuk menggantinya dengan membeli dari negara lain yang memiliki sisa cadangan emisi karbon yang tidak dipergunakan.

Dalam konteks economic analysis of law, sesungguhnya Paris Agreement sangat menguntungkan Indonesia. Sebab, Indonesia merupakan satu dari tiga negara yang memiliki hutan terluas -selain Amerika Serikat dan Kongo. Paris Agreement juga menekankan bahwa penggunaan emisi berlebihan dianggap sebagai eksploitasi lingkungan. Karena itu, wajib merestorasi lingkungan sehingga keseimbangan iklim dan konservasi bumi akan terjamin.

Karena itu, syarat pada perdagangan karbon adalah wilayah atau areal yang emisinya ditransaksikan harus berupa hutan yang dikonservasikan. Dalam perhitungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), per 2020 potensi ekonomi dari perdagangan karbon sekitar Rp 350 triliun dalam lima tahun mendatang. Kalkulasi ini mengacu pada luasan hutan di Indonesia.

Hal ini seiring mulai diterimanya konsep lingkungan green growth economic. Di Indonesia, misalnya, GoJek dan Trans Jakarta merupakan contoh buyer perdagangan karbon. Sementara di dunia internasional, Loreal hingga Lutfanza telah melakukan aktivitas perdagangan buyer sebagai bentuk net off dari kelebihan emisi yang dihasilkan.

Untuk itu, pemerintah perlu mengatur secara spesifik mengenai perdagangan karbon. Sebab saat ini, menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, selain dikelola oleh negara, hutan juga dimungkinkan dikelola oleh swasta pada lahan hutan produksi konversi (HPK). Pihak swasta dapat mengajukan izin usaha restorasi ekosistem (dikenal sebagai IUPHHK-RE). Mereka yang memiliki izin IUPHHK-RE ini juga dapat memperdagangkan karbon dan memperoleh sertifikasi guna aktivitas perdagangan karbon.

Halaman:
Rio Christiawan
Rio Christiawan
Dosen Program Studi Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya, Spesialisasi Hukum Lingkungan dan Agraria

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement