Agar Lobster Bermanfaat untuk Negeri

M Riza Damanik
Oleh M. Riza Damanik, PhD
12 Januari 2021, 13:12
M Riza Damanik
Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Petani menempatkan lobster hias air tawar jenis red marlboro clarkii ke kolam pembenihan di tempat pembudidayaan Desa Wangunharja, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (28/12/2020). Bibit lobster hias air tawar yang dipasarkan di wilayah Jabodetabek itu dijual dengan harga Rp5000 per ekor dan untuk indukan seharga Rp400.000 per ekor .

Apa sajakah tantangan pengelolaan lobster di Tanah Air? Pertanyaan ini penting dijawab agar polemik lobster di pengujung 2020 tidak sekadar “ramai”, tetapi juga berujung pada jalan perbaikan di 2021 dan ke depannya.

Mari lihat pengelolaan lobster Indonesia dalam kurun 20 tahun terakhir. Ke luar, kontribusi ekspor lobster teramat kecil. Bahkan, perdagangan lobster Indonesia di pasar dunia belum pernah genap 2 persen: hanya 0,87 persen di 2001, sempat naik menjadi 1,78 persen di 2013, lalu turun menjadi 0,70 persen di 2019. Saat ini, sebanyak 99,5 persen produksi lobster dunia berasal dari tangkapan alam.

Advertisement

Pada rezim lobster hasil tangkapan alam inilah Kanada, Amerika Serikat, dan Australia menempati urutan 1, 2 dan 3 eksportir lobster terbesar di dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Posisi Indonesia tertinggal hampir 60 kali lipat dari Kanada, 20 kali lipat dari Amerika Serikat dan sekitar 16 kali lipat dari Australia.

Sedang ke dalam, perkembangan budidaya lobster di Tanah Air juga terus menyusut.

Secara global, produksi lobster dari budidaya masih relatif kecil dibanding hasil tangkapan alam. Namun tren pertumbuhan produksinya pada 2010-2016 meningkat mencapai 8,48 persen per tahun —jauh di atas pertumbuhan rata-rata produksi lobster hasil tangkapan alam yang hanya 1,58 persen per tahunnya. Angka tersebut juga lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan konsumsi ikan per kapita warga dunia selama 50 tahun terakhir yang hanya 3,1 persen per tahunnya (FAO, 2020). Maka, peluang Indonesia untuk menjadi pemain lobster dunia justru ada di budidaya. Apalagi, berbudidaya lobster bukanlah hal baru bagi nelayan Indonesia.

Pelajaran Berharga Dua Menteri 

Di Teluk Jor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, misalnya, praktik berbudidaya lobster menggunakan keramba jaring apung sudah berlangsung hampir 30 tahun terakhir. Ekosistem usahanya pun sudah terbentuk rapih: ada nelayan yang berperan sebagai penangkap benih lobster, ada kolektor dan penjual benih, ada pembudidaya dengan ragam ukuran panen, ada agregator hasil panen, dan seterusnya hingga ke pasar.

Tidak heran, di 2013 lalu, produksi lobster Indonesia dari budidaya sempat memuncak dengan produksi lebih dari 54 persen dari total budidaya lobster dunia. Waktu itu, Vietnam hanya sekitar 41 persen saja. Namun, perubahan kebijakan yang tidak pro budidaya —disamping sumber daya benih yang sudah semakin terbatas— menyebabkan postur produksi budidaya lobster dunia berbalik: Vietnam lompat ke 85 persen dan Indonesia turun ke 9 persen.

Sebenarnya, baik Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (2014-2019) dan Menteri Edhy Prabowo (2019-2020) telah memberikan banyak sekali pelajaran berharga yang dapat digunakan untuk menyempurnakan kebijakan lobster di kepulauan Indonesia. Dari Peraturan Menteri Susi Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia, misalnya, bangsa ini memperoleh pelajaran bahwa melarang ekspor benih lobster (saja) tidak akan pernah cukup untuk memperbaiki kesejahteraan nelayan dan pengembangan budidaya lobster di Tanah Air.

Terlebih lagi, aturan itu juga melarang nelayan Indonesia mengambil benih lobster dari perairan Indonesia, untuk dibudidayakan oleh nelayan Indonesia, di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Walhasil, semua serba salah: ke luar benih lobster tidak boleh diekspor dan ke dalam benih lobster tidak boleh dibudidayakan. Pelajaran sebaliknya didapatkan dari Menteri Edhy.

Halaman:
M Riza Damanik
M. Riza Damanik, PhD
Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia; Senior Fellow Laboratorium Indonesia 2045

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement