Mewaspadai Himpitan Utang pada Kaum Muda di Tengah Pandemi

Stevanus Pangestu
Oleh Stevanus Pangestu
23 Januari 2021, 08:00
Stevanus Pangestu
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Ilustrasi pembiayaan berkelanjutan, investasi hijau, ramah lingkungan

Pandemi Covid-19 telah menyebabkan lebih banyak orang, khususnya kaum muda, terimpit utang berlebihan. Over-indebtedness ini karena kesempatan untuk meminjam uang semakin terbuka lewat fasilitas daring.

Percepatan penggunaan layanan digital terjadi di berbagai industri, termasuk di usaha pinjaman online. Otoritas Jasa Keuangan, sebagai lembaga pengatur dan pengawas industri jasa keuangan, melaporkan hingga November 2020, jumlah penyaluran pinjaman online melalui peer-to-peer mencapai Rp 146,25 triliun, atau 96,19 % lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

Advertisement

Jika ini dilakukan secara konsumtif dan tidak berhati-hati, pinjaman-pinjaman ini akan menimbulkan kondisi keuangan yang tidak sehat.

Bahaya Over-indebtedness

Umumnya, berutang itu sebaiknya tidak melebihi 35 % dari penghasilan pribadi. Studi-studi telah mengemukakan dampak negatif over-indebtedness pada skala mikro atau individu sampai makro atau luas.

Pada tingkat individu atau rumah tangga, keadaan ini berdampak buruk terhadap kesehatan fisik maupun mental, produktivitas di tempat kerja, dinamika pernikahan, dan bahkan dapat menyebabkan insiden bunuh diri.

Pada tingkat makro, utang berlebihan dapat menghantam pertumbuhan dan stabilitas ekonomi karena produktivitas yang menurun.

Situasi yang Rentan bagi Generasi Muda

Di tengah pandemi, anak muda lebih rentan mengalami utang berlebihan. Mereka yang muda mungkin masih bergantung kepada orang tua atau baru mulai merintis karier sehingga penghasilannya masih pada tingkat awal. Celakanya banyak kaum muda juga memiliki literasi keuangan atau pengetahuan tentang produk keuangan yang rendah.

Berdasarkan riset dari OJK pada 2019, kalangan milenial usia 18-25 tahun hanya memiliki tingkat literasi 32,1%, sedangkan usia 25-35 tahun memiliki tingkat literasi 33,5%. Ini merupakan pekerjaan rumah yang besar, karena banyak kaum muda mulai tertarik untuk berinvestasi dan jika tidak dibekali dengan literasi keuangan yang baik akan menjerumuskan mereka pada utang berlebihan.

Tak jarang, investor pemula bahkan bisa tergoda sampai meminjam uang untuk membeli saham. Lebih parah jika mereka memperoleh pinjaman dari perusahaan teknologi finansial ilegal yang mengenakan bunga yang besarnya tidak wajar. Ketentuan OJK mengatur bunga tertinggi pinjaman online adalah 0,8 % per hari atau 24 % per bulan, sedangkan yang ilegal bisa mencapai lebih dari 1 % per hari dan 30 % per bulan.

Salah satu terjadi pada kasus investor pemula yang mengalami kesulitan keuangan karena nekat berinvestasi saham dengan berutang. Mereka meminjam dari pinjaman daring sampai ke menggadaikan surat kepemilikan kendaraan. Salah satunya bahkan meminjam ke 10 pinjaman online untuk membeli saham senilai Rp170 juta. Cara ini dilakukan atas dasar ingin cepat memperoleh keuntungan.

Permasalahannya adalah harga saham sangat berfluktuasi di tengah kondisi yang tak pasti. Ketika harga saham turun, maka rugilah yang dialami. Investor ini juga kemudian harus memenuhi kewajiban ditambah bunga atas pinjaman yang dibuat.

Halaman:
Stevanus Pangestu
Stevanus Pangestu
Assistant Professor at the Faculty of Economics and Business, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement