Ancaman Facebook dan PR Model Bisnis Media

Adek Media Roza
18 Februari 2021, 16:53
Adek Media Roza
KATADATA/JOSHUA SIRINGO RINGO
Logo Facebook yang dicetak 3D berdiri terlihat di depan kode siber yang dipajang dalam sebuah ilustrasi yang diambil fotonya tanggal 22 Maret 2016.

Mulai Kamis (18/2), media massa di Australia tidak bisa memperbaharui konten halaman Facebook mereka.  Halaman-halaman tersebut hanya berisi pesan error atau “belum ada postingan”.

Para pengguna di platform media sosial itu bahkan tak bisa membagikan tautan link berita yang dihasilkan media di negeri Kangguru itu, semisal ABC, SBS, dan Sydney Morning Herald.

Advertisement

Perubahan mengejutkan tersebut merupakan babak baru dalam negosiasi yang dimulai tahun lalu antara perusahaan pers (publisher) di Australia, yang didukung pemerintah Scott Morisson, dan Facebook, raksasa teknologi asal Amerika Serikat.

Negosiasi ini untuk menekan Facebook agar memberi kompensasi kepada publisher atas berita yang tayang di platform jejaring pertemanan tersebut.

Sebagai tindak lanjut atas negosiasi tersebut, Canberra menyiapkan draft rancangan undang-undang yang akan mengharuskan Facebook dan Google untuk mencapai kesepakatan bisnis dengan perusahaan pers.

Draft tersebut diserahkan ke parlemen pada Selasa (16/2). Sehari sebelum dan setelahnya, dua raksasa media Australia, Seven West Media dan News Corps, mencapai kata sepakat dengan Google ihwal nilai kompensasi atas pemuatan berita.

Bagi Facebook, legislasi tersebut dianggap merugikan. Alih-alih, perusahaan milik Mark Zuckenberg itu mengklaim selama ini telah membantu perusahaan media menjangkau pembaca.

“Kami harus memilih apakah patuh dengan aturan yang tidak sesuai dengan realita atau menghentikan penayangan konten para publisher di platform kami. Dengan berat hati, kami memlilih yang terakhir,” ujar Managing Director Facebook Australia, William Easton seperti dikutip ABC News.

Pernyataan Easton bisa dianggap sebagai “ancaman” bagi negara lain yang berencana menekan raksasa IT tersebut untuk memberi kompensasi kepada perusahaan pers, termasuk Indonesia.

Lebih jauh, kasus di negara tetangga ini juga menjadi pengingat betapa rapuhnya model bisnis sejumlah media di Tanah Air. Apalagi Facebook menyatakan jumlah konten berita tidak signifikan, hanya berkisar 4 persen dari isi linimasi media sosial tersebut.

Betul bahwa Facebook memungkinkan berita tersebar lebih luas. Tapi kehadiran platform sosial media ini menjadi pisau bermata dua bagi perusahaan pers.

Pengguna internet lebih cenderung membaca berita dari linimasa Facebook, alih-alih langsung ke website perusahaan media. Facebook menangguk berkah traffic, yang turut berkontribusi kepada pendapatan iklannya, yang hampir mencapai US$ 80 miliar.

Telah lama, perusahaan pers mengeluhkan Facebook dan Google ibarat pukat harimau yang melahap semua iklan, dan hanya menyisakan remah-remahnya saja untuk menjadi rebutan para publisher.

Tidak ada angka resmi ihwal berapa keuntungan iklan yang diraih kedua raksasa IT di Indonesia. Sejumlah praktisi media di Tanah Air meyakini hanya 10 persen kue iklan yang diperebutkan ribuan perusahaan media Indonesia.

Halaman:
Adek Media Roza
Adek Media Roza

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement