Ekosistem Festival Jazz: Sejarah, Perjuangan, dan Nasionalisme

Luki Safriana
Oleh Luki Safriana
25 April 2021, 11:41
Luki Safriana
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Musisi Indinesia Isyana Saraswati (kedua kanan) tampil saat Prambanan Jazz 2020 bertajuk "New Hope New Experience" di Candi Prambanan, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (31/10/2020). Perhelatan musik tahunan yang menampilkan sejumlah band serta musisi nasional itu tahun ini digelar secara virtual guna mencegah penyebaran COVID-19.

“Kita harus optimistis bahwa kondisi akan terus membaik. Proses vaksinasi yang terus berjalan dan penurunan secara perlahan dari masyarakat yang tertular adalah sinyal kuat. Pemerintah Indonesia telah bekerja keras. Infrastuktur internet kian tersebar merata, dan saya membuktikannya hari ini pada forum Jazz. Tahun 2022, saya berharap festival Jazz di Indonesia kembali normal.”

Pernyataan Peter F. Gontha dalam webinar Forum Jazz Indonesia pada 9 April 2021 lalu tersebut patut dijadikan sebagai nilai perjuangan yang penting untuk digemakan. Bersama dengan hadirnya Triawan Munaf, Mantan Kepala Badan Ekonomi Kreatif, dan Sigit Pramono (Jazz Gunung), webinar itu banyak mendiskusikan tentang arah prospek Festival Jazz di Indonesia pasca-pandemi Covid-19.

Menurut Candra Darusman, Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi), hingga Juni 2020 terdapat sekitar 200 acara musik di Indonesia tercerai berai akibat pandemi corona. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi Jazz Gunung yang pada akhir 2020 menghelat festival bartajuk Jazz Gunung Ijen. Dalam keadaan normal, kapasitas amfiteater Jazz Gunung Ijen dapat menampung 1.000 orang. Sedangkan dalam pandemi kemarin, festival tersebut hanya menampung 300 orang saja.

Panitia menerapkan 3W yaitu wajib swab, wajib memakai masker, dan wajib menjaga jarak sebagai kepatuhan pada protokol kesehatan. Pelaksanaan festival kali ini memiliki tantangan tersendiri, terutama dari segi event management yang harus menyesuaikan keadaan dengan menerapkan protokol dan meminimalisasi experience. Di sisi lain, penyelenggara juga ingin menyajikan festival yang sama baiknya dengan keadaan sebelum pandemi.

Pelaksanaan Jazz Gunung memberi oase kuat bahwa ekosistem Jazz dan festivalnya masih bertahan. Pada akhirnya momen Jazz Gunung diharapkan bisa menjadi titik kebangkitan ekonomi kreatif dan pariwisata.

Setelah Jazz Gunung, Prambanan Jazz hadir secara virtual dengan konsep hybrid pada tanggal 31 Oktober dan 1 November 2020, tepat di Candi Prambanan. Kemudian denyut festival Jazz mengalir ke Yogyakarta dengan hadirnya Ngayogjazz pada 19-21 November 2020. Mengusung tema yang provokatif, Ngejazz Tak Gentar, seolah ingin mengajak bertempur dengan pandemi.

Bersamaan dengan International Jazz Day, Batam Jazz terselenggara dengan tema Rising Riau Island pada 27 dan 28 Maret 2021. Festival tersebut menjadi festival Jazz ke-6 yang diadakan oleh Batam Jazz Society (BJS). Sementara Java Jazz cukup beruntung karena diadakan sebelum pandemi yaitu pada 28 Februari hingga 1 Maret di JIExpo Kemayaron. Di sisi lain, Ubud Jazz Festival dengan berat hati harus menunda event raksasanya.

Romatika Sejarah, Perjuangan, dan  Nasionalisme Festival Jazz

Untuk menyegarkan ingatan tentang Festival Jazz, sebaiknya kita perlu memahami secara umum tentang sejarah Jazz dan festival Jazz dalam industri musik Indonesia. Asal usul dari kata Jazz adalah salah satu kata kunci yang paling dicari dalam bahasa Inggris Amerika Modern. Jazz dimulai sebagai istilah slang dari Pantai Barat sekitar 1912, memiliki arti 'yang bervariasi' tetapi tidak mengacu pada musik atau seks. Jazz datang dari musik Jazz di Chicago sekitar 1915.

Musik Jazz hadir di Indonesia pada 1919 melalui musisi Eropa. Genre Jazz sendiri mengalami puncak popularitas di Indonesia pada 1950-an. Pada 1980 hingga 1990-an, Jazz kembali naik daun dengan hadirnya sederet musisi kondang. Sederet musisi muda mulai membawakan kembali genre yang diklaim sebagai musik untuk generasi tua. Ireng Maulana, Elfa Secoria, dan Benny Likumahuwa menghadirkan musik Jazz dengan lagu-lagu yang bisa dinikmati anak muda juga lantai dansa.

Memasuki 2000-an, perkembangan musik Jazz seolah berfokus pada bagaimana agar musik di genre ini dapat dinikmati oleh semua kalangan usia. Jazz juga mulai dimainkan di televisi. Musisi seperti Andien, Maliq & D’Essentials, Raisa, Dewa Budjana hingga festival-festival musik juga turut mendukung perkembangannya.

Halaman:
Luki Safriana
Luki Safriana
Pengajar Paruh Waktu Prodi S1 Event Universitas Prasetiya Mulya, Mahasiswa Doktoral PSL-IPB University

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...