Demokratisasi Membuat Kendaraan Listrik, Siapkah Kita?
Kehadiran kendaraan listrik tidak terhindari. Beberapa negara maju sudah mengadopsi kendaraan listrik terlebih dahulu. Namun tingkat adopsinya masih rendah.
Di Amerika Serikat yang menjadi rumahnya pionir pembuat battery electric vehicle (BEV), Tesla, angka penjualan kendaraan listrik pada 2020 masih sekitar 2 % dari total penjualan kendaraan. Di Tiongkok lebih tinggi sekitar 5 %. Hanya di negara Skandinavia, seperti Norwegia, tingkat adopsinya melewati 50 % dari total penjualan kendaraan.
Di Indonesia, angka penjualaan kendaraan listrik praktis masih sangat rendah.
Masih rendahnya tingkat adopsi kendaraan listrik di seluruh dunia disebabkan oleh beberapa faktor kendala utama. Beberapa studi mengkonfirmasi harga kendaraan yang masih tinggi, keterbatasan ketersediaan infrastruktur pengisian baterai, dan keraguan akan daya jangkau merupakan faktor-faktor yang merintangi adopsi kendaraan listrik.
Meski demikian, tren penjualan kendaraan listrik sudah terlihat menengkat setiap tahunnya. Beberapa pabrikan juga memperkenalkan low-cost EV. Mobil listrik seharga mulai dari US$ 4.000 sudah dikomersialkan.
Di pasar Tiongkok, kendaraan jenis ini begitu laris terjual. Ditambah lagi dengan biaya teknologi baterai yang diproyeksikan akan turun dalam tahun-tahun mendatang, tingkat adopsi kendaraan listrik akan terus menaik.
Lantas, apa manfaat bagi kita dengan kehadiran kendaraan listrik. Apakah Indonesia akan menjadi sebatas pasar bagi pabrikan luar? Atau adakah para pembuat lokal yang bisa mengambil kesempatan besar dari era kendaraan listrik ini?
Ekosistem Bisnis Kendaraan Listrik
Pemerintah lewat PP Nomor 55 Tahun 2019 sudah menyiapkan program akselerasi pengembangan industri kendaraaan listrik mulai dari hulu sampai hilir. Investasi asing dikejar untuk menguatkan ekosistem bisnis kendaraan listrik di tanah air.
Indonesia, yang memiliki kandungan nikel termasuk yang terbesar di dunia, membuat investor dari Korea Selatan masuk untuk membuat baterai kendaran listrik. Pembuat baterai hanyalah satu aktor dalam suatu ekosistem bisnis kendaraan listrik.
Selain penyedia baterai, ada aktor-aktor penting lainnya seperti penyedia powertrain (penggerak utama kendaraan), sistem kontrol, dan tentunya pembuat atau perakit kendaraan listrik. Selain aktor-aktor di sisi suplai, ekosistem bisnis kendaraan listrik juga mencakup sisi permintaan customer; sisi support mencakup pemerintah, penyedia infrastruktur, universitas/lembaga riset, dan penyedia layanan lainnya; dan sisi interface di mana dealers atau showroom kendaraan berada di dalamnya.
Dari kesemuanya, studi memperlihatkan bahwa pembuat atau perakit kendaraan listrik adalah aktor utama atau keystone player-nya (Shang dan Shi, 2013). Sebagai aktor utama, pembuat kendaraan listrik akan menjadi pengorkestrasi semua pemain di sisi suplai. Merekalah pencipta nilai tertinggi dalam ekosistem bisnis kendaraan listrik.
Melihat potensi pasar domestik sekarang ini di angka satu juta unit penjualan per tahun (sebelum pandemi) dengan pertumbuhan sedikitnya 3 % dalam 10 tahun terakhir, tidak mengherankan investor asing sangat berminat untuk masuk ke Indonesia. Dan jika skenario status quo yang terjadi, bisa diproyeksikan bahwa pemain-pemain dari luar yang akan menguasai sisi suplai dari ekosistem bisnis.
Perlu pengembangan skenario lainnya untuk memunculkan startup-startup pembuat lokal. Selain akan mengukuhkan Indonesia sebagai rumahnya pembuat kendaraan listrik, juga akan memaksimalkan terjadinya pertambahan nilai di Tanah Air. Pertanyaannya, sungguhkah opsi menjadi pembuat menjadi realistis bagi pemain lokal?
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.