Tambak Udang vs Pelestarian Mangrove, Lebih Menguntungkan Mana?

Jatna Supriatna
Oleh Jatna Supriatna
12 Desember 2021, 09:30
Jatna Supriatna
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata

Indonesia mempunyai kawasan hutan mangrove terluas di dunia, jumlahnya sekitar 3,36 juta hektare. Studi pakar kehutanan dari IPB University, Daniel Murdiyarso, menyebutkan hutan mangrove Indonesia bisa menyerap sekaligus menyimpan karbon lima kali lebih banyak ketimbang hutan tropis dataran tinggi.

Sayang, hutan mangrove Indonesia menghilang seluas 52 ribu hektare setiap tahun. Laju deforestasi dan degradasi mangrove terbesar disumbang oleh penggunaan lahan untuk tambak udang dengan nilai ekonomi yang tak seberapa.

Advertisement

Misalnya, hutan mangrove di Delta Mahakam, Kalimantan Timur, seluas 21 ribu hektare menghilang dalam kurun 11 tahun untuk tambak udang yang hanya menghasilkan 30 kilogram udang per hektare.

Ancaman tersebut dapat dihilangkan secara perlahan. Caranya adalah melalui penyadaran kepada masyarakat bahwa pelestarian mangrove bisa menghasilkan dampak ekonomi yang jauh lebih besar – ketimbang alih fungsinya – terutama bagi masyarakat setempat.

Peluang Berlipat Kawasan Mangrove

Tujuan mulia pengelolaan mangrove adalah untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Sembari menyelam minum air, upaya ini juga dapat menyokong pengembangan wisata alam Indonesia. Wisata alam hutan mangrove memberikan kontribusi yang besar.

Pertama dapat menjadi sumber pendanaan untuk konservasi keanekaragaman hayati. Dana berasal dari penghasilan langsung berupa pembayaran uang masuk kawasan, pajak, dan lainnya.

Kedua, sebagai penghasilan alternatif bagi masyarakat sekitar kawasan pariwisata. Studi yang dilakukan tim peneliti dari University of Cambridge di Inggris bersama World Wildlife Fund pada awal 2015 lalu menyebutkan, nilai ekonomi kawasan konservasi dan seisinya di dunia mencapai US$ 600 miliar (Rp 8.600 triliun) per tahun.

Nilai tersebut hanya berasal dari delapan miliar kunjungan wisata. Angka ini jauh berlipat dibanding ongkos pelestariannya senilai US$ 10 miliar (Rp 143 triliun) per tahun.

Ketiga, justifikasi bagi pemerintah pusat dan daerah bersama para pegiat lingkungan untuk mengembangkan kawasan yang lestari dan sinambung.

Halaman:
Jatna Supriatna
Jatna Supriatna
Professor of Conservation Biology, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement