Tiga Langkah Menekan Biaya Lingkungan yang Nyaris Rp 1.000 T Setahun

Viktor Pirmana
Oleh Viktor Pirmana
19 Februari 2022, 07:30
Viktor Pirmana
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Researcher on Environmental Economics, Universitas Padjadjaran

Di Indonesia, upaya mengevaluasi ambisi pertumbuhan ekonomi dengan dampaknya bagi kelestarian lingkungan hidup masih sayup-sayup.

Alih-alih berubah, pemerintah justru merombak berbagai aturan pengendalian lingkungan hidup. Misalnya, penghapusan kewajiban analisis dampak lingkungan (amdal) bagi pelaku usaha, atau penyempitan partisipasi masyarakat dalam dokumen persetujuan lingkungan. Semua itu demi memuluskan investasi seluas-luasnya, dengan mimpi menjamurnya kesempatan kerja.

Advertisement

Padahal, usaha meraih pertumbuhan tanpa pertimbangan dampak lingkungan akan menjadi bumerang bagi pencapaian kesejahteraan. Bank Dunia menaksir kerugian ekonomi akibat perubahan iklim di Indonesia mencapai 2,5–7 % dari produk domestik bruto (PDB) pada 2100, seiring dengan melonjaknya biaya kesehatan dan lingkungan.

Saya menganalisis seberapa mahal dampak degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas seluruh sektor ekonomi di Indonesia pada 2010. Studi yang terbit di Journal for Cleaner Production ini merupakan penelitian pertama yang menganalisis data mendetail hingga biaya lingkungan atas material-material pencemar.

Analisis menggunakan data dari Tabel Input-Output Badan Pusat Statistik 2010, serta data volume pencemaran udara Indonesia berdasarkan sektor-sektor ekonomi dan jenis pencemar dari konsorsium lembaga riset EXIOBASE 2010.

Meski terpaut 12 tahun, data-data tersebut masih relevan dengan kondisi Indonesia terkini dan masih memiliki arti praktis bagi pembuatan kebijakan saat ini.

Hasilnya, total biaya lingkungan di Indonesia pada 2010 mencapai Rp 915,11 triliun – setara dengan 13% dari PDB Indonesia pada tahun yang sama. Angka ini sangat besar, melampaui dua kali lipat anggaran pembangunan infrastruktur Indonesia pada 2021.

Biaya Lingkungan di Indonesia

Kita membutuhkan indikator yang terukur dan aplikatif untuk memperoleh besaran biaya lingkungan – ekses negatif yang timbul dari kegiatan ekonomi. Harapannya, upaya pengambilan keputusan dapat lebih tepat sasaran dan efektif, pembangunan pun berada pada jalur yang berkelanjutan.

Monetisasi memungkinkan untuk menghitung bagaimana biaya lingkungan terkait dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Misalnya, biaya lingkungan dapat menjadi variabel “koreksi” atau pengurang PDB – dikenal sebagai PDB hijau.

Di Indonesia, biaya lingkungan hanya diukur dari aspek penipisan sumber daya alam seperti sumber daya mineral dan hutan, sebagai akibat dari eksploitasi yang berlebihan.

Riset saya mencoba melangkah lebih jauh, dengan menghitung biaya lingkungan akibat degradasi lingkungan, yang berasal dari polusi udara.

Dari hasil perhitungan biaya lingkungan sebesar Rp 915 triliun, sekitar 38 % adalah biaya degradasi lingkungan akibat polusi udara. Sedangkan biaya akibat penipisan sumber daya alam tidak terbarukan (sumber daya mineral) mencapai 55 %, dan sumber daya hutan 6,7 %.

Meski bukan yang komponen terbesar, biaya akibat degradasi lingkungan pada kenyataannya bisa lebih besar lagi. Pasalnya, penelitian ini belum menghitung biaya lingkungan akibat polusi air (water pollution) maupun timbunan sampah. Perhitungan ini belum dimasukkan karena keterbatasan data publik yang ada.

Biaya Lingkungan Akibat Pencemaran Udara di Indonesia

Sebagaimana telah disebutkan di atas, biaya lingkungan akibat polusi udara merupakan kontributor kedua dari total biaya lingkungan di Tanah Air. Nilainya mencapai Rp 348,35 triliun atau setara 5 % total PDB Indonesia.

Penelitian saya juga menelaah 10 sektor dengan kontribusi biaya lingkungan terbesar akibat udara yang tercemar: (1) Sektor listrik; (2) Industri besi dan baja – termasuk pengolahannya; (3) Pertambangan batubara, lignit, dan ekstraksi gambut; (4) Transportasi laut dan pesisir pantai; (5) Budi daya padi sawah; (6) Industri produk karet dan plastik; (7) Peternakan dan hasilnya; (8) Industri semen, kapur, dan plester; (9) Industri Pupuk; dan (10) konstruksi.

Halaman:
Viktor Pirmana
Viktor Pirmana

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement