Indonesia, Rumahnya Para Pembuat?

Ade Febransyah
Oleh Ade Febransyah
27 April 2022, 07:00
Ade Febransyah
Ilustrator: Betaria Sarulina

Lagi, kebiasaan kita mengimpor menjadi pembicaraan. Sebagian masyarakat menyayangkan mentalitas jalan pintas untuk serba cepat mengadakan barang. Sebagian lagi tidak mempermasalahkan impor, selama produk impor dapat menyelesaikan kebutuhan mereka. Mana yang benar? Setiap pemangku kepentingan punya pembenarannya masing-masing.

Salah satu definisi inovasi mensyaratkan adanya peningkatan drastis dari rasio benefit terhadap biaya (Meyer dan Garg, 2005). Bagi pengguna produk, individu maupun bisnis, mereka akan mempertimbangkan rasio benefit yang diterima terhadap biaya yang dikeluarkan dari penggunaan produk lokal atau impor.

Advertisement

Jadi jika produk lokal ingin bersaing dengan produk impor, ciptakanlah rasio benefit terhadap biaya yang lebih tinggi ketimbang produk impor.

Yang jadi pertanyaan bagi perusahaan lokal, mengapa harus membuat produk? Apakah pembuat lokal mampu membuat produk secara kompetitif? Bagaimana pembuat lokal menghasilkan produk dengan rasio benefit atau cost yang lebih tinggi dibandingkan produk impor?

Perspektif Membuat

Bisnis membuat tidak ubahnya seperti bisnis-bisnis lainnya. Hukum besinya sama, apa yang ditawarkan mesti cocok dengan kebutuhan, problem, atau pekerjaan yang ingin diselesaikan penggunanya. Terlebih kebutuhan/problem/pekerjaan tersebut yang underserved, yaitu pekerjaan penting bagi pengguna dan pekerjaan tersebut belum terselesaikan dengan baik.

Lihatlah dari keseharian, adakah kebutuhan/problem/pekerjaan kita yang belum terselesaikan dengan baik oleh produk impor yang digunakan? Puaskah dengan gadget buatan dan merek luar; frame kaca mata impor yang modis penambah gaya; kendaraan kesayangan bermerek asing banyak lagi?

Sepertinya sebagian (besar) dari kita baik-baik saja dengan produk/bermerek impor. Kalaupun ada perusahaan lokal yang ingin mensubstitusi impor, akankah masyarakat pengguna yang sudah bahagia dengan produk impor akan menoleh ke produk lokal? Tergantung jenis produknya.

Produk bisa dikategorikan menjadi dua: fungsional dan emosional. Untuk bisa diadopsi penggunanya, produk mesti fit dengan pekerjaan atau kebutuhan fungsional maupun emosional pengguna tersebut.  

Memang produk digunakan oleh siapapun untuk dapat menyelesaikan pekerjaan fungsional terlebih dahulu. Hanya di sebagian masyarakat pengguna, pekerjaan emosionalnya menjadi begitu lebih penting ketimbang yang fungsional.

Ambil contoh produk yang memenuhi kebutuhan fungsional sekaligus emosional seperti battery electric vehicle (BEV). Beberapa pabrikan luar sudah memperkenalkan mobil listrik ke pasar domestik. Meski tingkat adopsinya masih sangat kecil dibanding total populasi kendaraan, namun penjualan kendaraan listrik terus meningkat. Era kendaraan listrik tidak terhindari. Cepat atau lambat, elektrifikasi maupun hijaunisasi kendaraan akan terjadi.

Tidak mengherankan, beberapa grup bisnis seperti Indika dan GoTo berinisiatif untuk membangun ekosistem bisnis kendaraan listrik. Mengapa membangun ekosistem bisnis? Sudah siapkah perusahaan lokal untuk masuk ke ekosistem bisnis kendaraan listrik ini? Siapa yang paling siap untuk menjadi aktor utama dalam ekosistem bisnis, di bagian mana dalam ekosistem bisnis dan bagaimana menjadi aktor utama?

Inilah pertanyaan berkaitan dengan maksud (why) dan misi (how) yang perlu dijawab oleh para aktor dalam ekosistem bisnis. Jika sudah mampu menjawabnya, barulah perusahaan lokal dapat leluasa menyatakan mimpinya untuk menjadi pemain terdepan asal Indonesia di era ekonomi hijau.

Bicara tentang ekosistem bisnis, sederhananya adalah tentang perluasan dari rantai pasokan dengan melibatkan aktor-aktor lainya. Mereka itu seperti pemerintah, lembaga penelitian, asosiasi industri, dan pemangku-pemangku kepentingan yang berinteraksi satu sama lain dalam penciptaan nilai dari barang dan jasa kepada pelanggan (Moore, 1993).

Khusus untuk kendaraan listrik, ekosistem bisnisnya dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian utama: supply, demand, interface dan support (Shang dan Shi, 2013).

Para pengembang ekosistem bisnis sebaiknya menggunakan pendekatan problem first approach. Problem/kebutuhan/jobs to be done apa di masyarakat yang belum terselesaikan dengan baik yang bisa dijawab oleh kendaraan listrik? Hal ini untuk menjamin product-market fit.

Di bagian demand dari ekosistem bisnis, permintaan akan diisi oleh customer yang memiliki pekerjaan (jobs to be done/JTBD) masing-masing, yang akan dijawab oleh beragam tipe kendaraan listrik ataupun layanan transportasi berbasis kendaraan listrik: battery electric vehicle (BEV), hybrid electric vehicle (HEV), electric scooter, electric bike dan layanan transportasi seperti bus listrik, motor listrik.

Pilihan tipe kendaraan listrik di pasar domestik akan menentukan kekuatan dari suatu ekosistem bisnis kendaraan listrik. Misalnya, pabrikan di sisi suplai yang memaksakan mobil BEV yang tidak terjangkau masyarakat banyak akan membuat tingkat adopsi kendaraan menjadi rendah. Efeknya akan menyulitkan pertumbuhan bisnis aktor-aktor dalam ekosistem. Sebab, permintaan dari masyarakat dan pertumbuhannya akan menjamin kesehatan dan keberlangsungan suatu ekosistem bisnis.

Setelah memahami JTBD di masyarakat, pengembang ekosistem bisnis baru menyiapkan produk ataupun layanan yang tepat. Di sini bagian interface dari ekosistem bisnis yang berisikan penyedia produk dan layanan berbasis kendaraan listrik.

Sebaik-baiknya maksud dari pelaku bisnis yaitu membantu untuk menyelesaikan problem/kebutuhan/JTBD di masyarakat. Jika yang disasar para commuter yang ingin bepergian dari rumah ke kantor dan sebaliknya dengan lebih ekonomis, tawaran solusinya bisa berupa produk affordable electric vehicle maupun layanan electric mobility as a service (EMaaS).

Pabrikan-pabrikan mobil listrik di luar sudah mengembangkan dan menawarkan mobil listrik dengan lebih terjangkau bagi masyarakat banyak. Di luar sudah ada mobil listrik seharga US$ 4.000 – 6.000, maka untuk pasar Indonesia, kendaraan listrik yang terjangkau dengan rentang Rp 100 – 150 juta akan lebih mudah diakuisisi oleh mayoritas masyarakat.

Bagi mereka yang sudah mengendarai mobil berbahan bakar minyak (BBM), kehadiran kendaraan listrik yang terjangkau akan meningkatkan rasio benefit terhadap cost of ownership kendaraan. Dengan manfaat fungsional yang sama, yaitu mengantarkan penggunanya dengan mudah dan nyaman, kendaraan listrik dapat menekan cost of ownership selama penggunaan, mulai dari harga beli, service cost dan fuel cost yang lebih rendah 30-50% dibandingkan belanja BBM selama ini untuk jarak tempuh yang sama.

Solusi alternatif lainnya bisa berupa layanan transportasi terpadu menggunakan kendaraan listrik. Misalnya untuk bepergian dari rumah ke kantor akan melibatkan serangkaian layanan: antaran mobil atau motor listrik dari rumah ke stasiun bus listrik; lanjut dengan bus listrik ke pemberhentian dekat destinasi, dan dilanjutkan dengan layanan antar dengan mobil atau motor listrik menuju kantor.

Halaman:
Ade Febransyah
Ade Febransyah
Guru Inovasi Prasetiya Mulya Business School

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement