Problem Pembatasan Konsumsi BBM dan Peran Penting Insentif Hulu Migas

Komaidi Notonegoro
Oleh Komaidi Notonegoro
10 Juni 2022, 09:38
Komaidi Notonegoro
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Jika level produksi dan cadangan minyak Indonesia pada 1990-an dapat dipertahankan, wacana kebijakan pembatasan konsumsi BBM mungkin tidak pernah terjadi. Dengan level produksi minyak pada tahun tersebut, pemerintah memiliki ruang untuk mengintervensi kebijakan harga BBM. Hal itu karena konsumsi BBM dalam negeri masih dapat dipenuhi dari produksi sendiri.

Akan tetapi, realisasi produksi minyak Indonesia menurun signifikan, dari1,66 juta barel per hari pada 1991 menjadi 743 ribu barel per hari pada 2020. Sementara konsumsi justru meningkat dari 692 ribu barel per hari pada 1991 menjadi 1,44 juta barel per hari pada 2020. Dengan kondisi tersebut, Indonesia menjadi relatif tidak banyak memiliki pilihan untuk menutup defisit selain melalui impor.

Kondisi yang ada saat ini menggambarkan bahwa ruang gerak pemerintah untuk mengintervensi kebijakan harga BBM relatif terbatas. Pekerjaan yang sulit bagi siapapun ketika dalam proses pengadaannya harus membeli sebagian besar minyak dengan harga pasar tetapi kemudian mesti menjual dengan harga subsidi.

Intervensi pemerintah terhadap kebijakan harga BBM relatif hanya dapat dilakukan jika harga minyak berada pada level rendah. Akan tetapi, jika harga minyak tinggi pemerintah tidak memiliki banyak pilihan selain menaikkan harga BBM.

Opsi pembatasan konsumsi BBM yang saat ini sedang mengemuka kemungkinan tidak akan menyelesaikan akar permasalahan. Pembatasan konsumsi justru akan kontraproduktif dengan tujuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan berpotensi menimbulkan sejumlah masalah ikutan dalam implementasinya.

Peran Penting Insentif Hulu Migas

Dalam konteks Indonesia, kebijakan pemberian insentif untuk industri hulu migas dapat menjadi solusi permasalahan. Sejumlah studi menunjukkan bahwa insentif hulu migas berperan penting untuk dapat menahan laju penurunan atau bahkan dapat meningkatkan produksi migas. Kebijakan pemberian insentif cukup relevan jika mengingat sebagian besar lapangan migas di Indonesia adalah mature field.

Hasil riset Inter-American Development Bank (IDB) 2020 menemukan bahwa pemberian insentif untuk mature field dapat menambah umur keekonomian proyek rata-rata sekitar 30 tahun. Insentif untuk mature field umumnya ditujukan untuk menahan laju penurunan produksi migas dari lapangan tertentu. Sementara pada lapangan baru yang belum mencapai puncak produksi, pemberian insentif umumnya dimaksudkan untuk meningkatkan produksi.

Riset Haliburton menemukan bahwa sekitar 70 % lapangan migas produksi di dunia merupakan mature field. Karena itu, insentif fiskal menjadi kunci dan instrumen penting untuk dapat menjaga keekonomian dan tingkat produksi migas. Berdasarkan gambaran tersebut, dapat dikatakan bahwa sebagian besar insentif lebih banyak dialokasikan untuk mempertahankan tingkat produksi.

Praktik kebijakan pemberian insentif hulu migas di sejumlah negara menunjukkan bahwa kebijakan tersebut berdampak positif terhadap produksi migas mereka. Brazil, misalnya, memberikan insentif hulu migas melalui pengurangan royalti dan penggantian kerugian biaya eksplorasi.

Halaman:
Komaidi Notonegoro
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...